Harga Paket Haji dan Umroh Desember 2015 di Jakarta Barat
Harga Paket Haji dan Umroh Desember 2015 di Jakarta Barat Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Harga Paket Haji dan Umroh Desember 2015 di Jakarta Barat Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
Tak ada yang lebih indah daripada kehidupan yang penuh
dengan kesyukuran. Rasanya semua orang menginginkannya.
Saco-Indonesia.com, Tak ada
yang lebih indah daripada kehidupan yang penuh dengan kesyukuran. Rasanya semua orang
menginginkannya. Berbagai usaha pun dilakukan, mulai dari yang kecil berupa membina hati,
kemudian hal yang gampang dan ringan dengan ucapan atau yang berat dan besar dengan tindakan
– tindakan nyata. Sayangnya, tak banyak orang yang pada akhirnya dapat merasakan predikat
indah itu. Kesyukuran timbul tenggelam di dalam samudera kehidupan ini. Silih berganti. Sebab
jumlah nikmat yang tak terhitung dan sifat lupa dan lalai manusia akan nikmat itu sendiri.
Alhasil, hidup berlimpah dengan rasa syukur menjadi barang yang sulit ditemukan. Tak jarang,
malah terlupakan.
Hal ini diperkuat dengan garis Allah di dalam Kitabnya, dimana Allah
menyebutkan bahwa kategori orang yang bisa bersyukur itu sedikit. Dan sedikit sekali dari hamba-
hamba-Ku yang bersyukur”. (QS Saba’:13) Konsekuensi dari hukum ini diantaranya adalah
susahnya mencari keteladanan dalam bersyukur. Di Quran misalnya hanya beberapa hamba yang
tertulis sebagai ahli syukur, Nabi Nuh misalnya seperti yang tertulis di dalam surat al-Israa
ayat 3, innahu kaana ‘abdan syakuuron - sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak
bersyukur.
Kemudian Nabi Daud dan keluarganya, yang disebutkan di dalam surat
Saba ayat 13, i’maluu aalaa daawuuda syukron - bekerjalah wahai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah). Berkenaan dengan masalah syukur ini Nabi Dawud pernah bertanya kepada
Allah. “Bagaimana aku mampu bersyukur kepadaMu ya Allah, sedangkan bersyukur itupun nikmat
dari Engkau? Allah pun menjawab, “Sekarang engkau telah bersyukur kepadaKu, karena engkau
mengakui nikmat itu berasal dari-Ku”.
Berkaitan dengan masalah ini
Rasulullah SAW pun menegaskan dengan sabdanya; “Shalat yang paling dicintai oleh Allah
adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur
seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari,
kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.(Rowahu al-Bukhari, Muslim)
Juga Rasulullah SAW menjelaskan dengan sabdanya; “Tidaklah seseorang
itu makan makanan yang lebih baik kecuali dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya
Nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Rowahu al-Bukhari)
Di dalam jalur riwayat lain, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Tsabit Al-Bunani
bahwa Nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak
ada sedikit waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang
menjalankan shalat.
Tampilnya keluarga Nabi Dawud sebagai teladan dalam
bersyukur memang tepat dan contoh yang diberikan juga gamblang. Bersyukur tidak hanya dengan
hati, perkataan dan tindakan sebagaimana yang dicontohkan Keluarga Nabi Daud. Lebih dari itu
bersyukur adalah dalam rangka mencari kecintaan - keridhoan dari Allah.
Demikian juga apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam masalah ini. Ketika turun
Surat Fath ayat 1 yang menetapkan pengampunan kepada Rasulullah SAW atas dosa yang terdahulu dan
yang akan datang, kesungguhan Rasulullah SAW dalam bersyukur semakin menjadi. Shalat malamnya
membuat kedua kaki beliau bengkak – bengkak, sehingga Aisyah pun berkata, “Kenapa
engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu
baik yang awal maupun yang akhir?” Rasulullah menjawab, “Afalam akuunu abdan syakuron
- Tidakkah aku menjadi hamba yang bersyukur”. (Rowahu Al-Bukhari).
Dari
tiga teladan di atas, kita perlu menelusuri lebih lanjut jalan menjadi ahli bersyukur. Walaupun
tertulis sedikit kita berharap dan berusaha menjadi bagian yang sedikit itu. Sebagai
inspirasi cerita berikut layak dicermati. Suatu saat Umar bin Khaththab pernah mendengar
seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”.
Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat
itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit
tersebut.”
Ada hal – hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan
benih – benih kesyukuran agar terpatri di dalam hati. Yang pertama adalah benih hati
“tidak merasa memiliki, tidak merasa dimiliki kecuali yakin segalanya milik Allah
SWT.” Allah berfirman; “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS al Baqoroh 155 –
156).
Sebab makin kita merasa memiliki sesuatu akan semakin takut kehilangan.
Dan takut kehilangan adalah suatu bentuk kesengsaraan. Tapi kalau kita yakin semuanya milik
Allah, maka ketika diambil oleh Allah tidak layak kita merasa kehilangan. Karena kita hanya
tertitipi. Dalam kondisi seperti ini layak direnungi kaidah tukang parkir. Setiap hari di area
parkir berjajar mobil mewah dari Mercy, BMW, Toyota, Mazda dan mobil bagus lainnya. Walau dari
pagi sampai petang mobil – mobil itu di bawah tanggung jawab si tukang parkir, tetapi
apakah dia bisa marah, sedih, ketika mobil – mobil tersebut diambil pemiliknya kala sore
hari? Tentu tidak. Bahkan dramawan WS Rendra menulis dengan apik, hakikat harta sebagai titipan
seperti dalam puisinya Makna Sebuah Titipan.
Sering kali aku berkata, ketika
orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya
titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa
Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan
untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu
adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa
nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.
Seolah
semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus
berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita
menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku
Kuperlakukan Dia
seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan
baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”
Rahasia benih kedua menjadi ahli syukur adalah “selalu memuji Allah dalam segala
kondisi. " Kenapa? Allah berfirman; “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS An-nahl 18). Karena kalau dibandingkan antara nikmat dengan
musibah tidak akan ada apa-apanya. Musibah yang datang tidak sebanding dengan samudera nikmat
yang tiada bertepi.
Ini seperti cerita seorang petani miskin yang kehilangan
kuda satu-satunya. Orang-orang di desanya amat prihatin terhadap kejadian itu, namun ia hanya
istirja dan mengatakan, alhamdulillah, cuma kuda yang hilang. Bukan lainnya. Seminggu kemudian
kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar. Petani itu mendadak
menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun ia
hanya berkata, alhamdulillah.
Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat
musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga patah kakinya.
Orang-orang desa merasa amat prihatin, tapi sang petani hanya mengatakan, alhamdulillah cuma
patah kakinya. Ternyata seminggu kemudian tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda
untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya
patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat, alhamdulillah. Allah telah mengatur
segalanya.
Apa yang harus membuat kita menderita? Adalah menderita karena kita
tamak kepada yang belum ada dan tidak mensyukuri apa yang ada sekarang.
Benih
ketiga untuk menjadi ahli syukur adalah “manfaatkan nikmat yang ada untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT”. Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di
antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian dan bersyukurlah kalian kepada Allah,
jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (QS Al-Baqoroh 172)
Alkisah ada tiga pengendara kuda masuk ke dalam hutan belantara, kemudian dia tertidur.
Saat terjaga dilihat kudanya telah hilang beserta semua perbekalannya. Betapa kagetnya
mereka, karena alamat tidak bisa meneruskan perjalanan. Pada saat yang sama dalam keadaan kaget
tersebut, ternyata seorang raja yang bijaksana melihatnya dan mengirimkan kuda yang baru lengkap
dengan perbekalan untuk perjalanan mereka. Ketika dikirimkan reaksi ketiga pengendara yang
hilang kudanya itu berbeda-beda.
Pengendara pertama si-A kaget dan
berkomentar; "Wah ini kuda yang hebat sekali, bagus ototnya, lengkap perbekalannya dan
banyak pula!” Dia sibuk dengan kuda dan perbekalannya tanpa bertanya kuda siapakah ini?
Pengendara kedua Si-B, gembira dengan kuda yang ada dan berkomentar; "Wah ini kuda yang
hebat, dan saya benar – benar membutuhkannya. Terima kasih, terima kasih.” Begitulah
si-B bersyukur dan berterima kasih kepada yang memberi. Sikap pengendara ke tiga, si-C beda lagi.
Ia berkata; "Lho ini bukan kuda saya, ini kuda milik siapa?” Yang ditanya menjawab;
" Ini kuda milik raja."
Si-C bertanya kembali; "Kenapa raja memberikan
kuda ini ?” Dijawab; "Sebab raja mengirim kuda agar engkau mudah bertemu dengan sang
raja". Dengan bersuka cita si-C menjawab; “Terima kasih atas semuanya, sehingga saya
bisa sampai ke sang raja.”
Dia gembira bukan karena bagusnya kuda, dia gembira
karena kuda dapat memudahkan dia dekat dengan sang raja.
Begitulah, si-A
adalah gambaran manusia yang kalau mendapatkan mobil, motor, rumah, dan kedudukan sibuk
dengan semua itu, tanpa sadar bahwa itu semua adalah titipan. Yang B mungkin adalah model orang
kebanyakan yang ketika senang mengucap Alhamdulillah. Tetapi ahli syukur yang asli adalah
yang ketiga yang kalau punya sesuatu dia berpikir bahwa inilah kendaraan yang dapat menjadi
pendekat kepada Allah SWT. Ketika mempunyai uang dia mengucap alhamdulillah, uang inilah pendekat
saya kepada Allah. Ia tidak berat untuk membayar zakat, dia ringan untuk bersadaqah, karena
itulah jalan mendekatkan diri kepadaNya.
Benih syukur yang keempat adalah
“berterima kasih kepada yang telah menjadi jalan perantara nikmat.” Seorang anak
disebut ahli syukur kalau dia tahu balas budi kepada ibu dan bapaknya. Benar orang tua kita tidak
seideal yang kita harapkan, tetapi masalah kita bukan bagaimana sikap orang tua kepada kita,
tetapi sikap kita kepada orang tua. Sama halnya dengan nikmat lainnya, kadang datangnya melalui
perantara, maka yang terpenting adalah bagaimana kita bisa bersikap yang baik kepadanya.
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a. dia berkata, “Rasululloh SAW bersabda;
’Barangsiapa diberi suatu kebaikan, lalu dia berkata kepada pemberinya – Jazaakallohu
khairo/Semoga Allah membalas kebaikan (yang lebih baik) kepadamu – maka dia telah sampai
(sempurna) di dalam memuji.”(Rowahu at-Tirmidzi, dia berkata hadist hasan ghorib)
Dari al-Asy’ats bin Qois r.a. dia berkata, “Rasululoh SAW bersabda tidak
bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.”
(Rowahu Ahmad)
Dari Abu Huroiroh r.a, dari Nabi SAW beliau
bersabda,”Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.”
(Rowahu Abu Dawud dan at- Tirmidzi dia berkata hadist shohih)
Sebagai pelengkap benih
– benih di atas, tentunya adalah memperbanyak doa untuk menyirami benih – benih itu.
Berdoa untuk menjadi hamba yang penuh kesyukuran, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
kepada sahabat Muadz bin Jabal. Hadist itu diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud (Kitabu
Sholah) dan Sunan Nasa’i (Kitabu as-Sahwi), juga terdapat dalam Musnad Ahmad, yang
dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dari Muadz bin Jabal r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW
memegang tangannya Muadz dan berkata; ”Ya Muadz, Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar
mencintaimu, Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu.” Seterusnya Beliau
berkata, ”Aku wasiat kepadamu hai Muadz, jangan meninggalkan sungguh engkau di dalam setiap
habis sholat untuk berdoa - Allohumma a’innaa ’alaa dzikrika, wasyukrika wahusni
’ibadatik - Ya Allah tolonglah kami untuk senantiasa berdzikir kepadaMu, bersyukur kepadaMu
dan beribadah kepadaMu dengan baik”.
Setelah menjadi orang iman, tantangan
berikutnya yang menghadang adalah berpacu untuk menjadi orang yang berkelimpahan kesyukuran.
Walaupun kesempatannya kecil, kita masih punya peluang meraihnya bukan? Nah, sebagai parameter
penutup bisa dirujuk cerita tentang seorang pengembala yang ditanya oleh tuannya.
“Bagaimana cuaca hari ini?” “Hari ini cuacanya sangat menyenangkan”,
jawabnya. ‘Apakah kamu tidak melihat bahwa dari pagi mendung dan tak tampak matahari?
” “Betul tuan, tetapi kehidupan ini telah mengajarkan kepada saya bahwa banyak
keinginan yang tidak saya dapatkan, oleh karena itu saya mulai mensyukuri apa saja yang saya
dapatkan.”
Lalu, dimanakah kita sekarang?
Oleh
:Ustadz.Faizunal Abdillah
Sumber:LDII
Editor:Liwon Maulana(galipat)
CARA MERANGKAI BUNGA
saco-indonesia.com,
Merangkai bunga juga dapat menjadi hobi alternatif untuk dapat mengisi waktu lowong
Memanfaatkan waktu
saco-indonesia.com,
Merangkai bunga juga dapat menjadi hobi alternatif untuk dapat mengisi waktu lowong
Memanfaatkan waktu yang senjang dengan kegiatan merangkai bunga telah menjadi salah satu pilihan yang sangat menarik. Walaupun kaum sosialita di jaman sekarang ini tidak begitu tertarik dengan kreasi merangkai bunga, namun bukan berarti kegiatan ini sudah ketinggalan gaya.
Kegiatan merangkai bunga juga dapat menjadi salah satu hobi yang sangat menarik dan juga bisa menghasilkan alias menjadi sumber rejeki, tidak sedikit orang yang telah membutuhkan jasa merangkai bunga, baik perangkai bungan untuk hiasan di atas meja, hingga menghias dekorasi ruangan untuk sebuah acara.
Bunga memang telah menjadi instrumen pelengkap yang sempurna untuk dapat memberikan kesan indah, berkarakter dan damai untuk segala kondisi, misalnya di ruang tamu anda, telah menyediakan beberapa vas bungan hasil kreasi sendiri tentu akan dapat menyenangkan pandangan.
Nah, bagi yang berminat untuk dapat mempraktekkannya, berikut ini akan kami sajikan beberapa cara dan teknik dalam merangkai bunga;
1. Menyiapkan dan Memotong Bagian Bunga
Persiapkanlah bunga yang akan dirangkai dan pastikan bahwa setiap bunga tersebut juga sudah Anda potong setidaknya pada bagian pangkal daun. Hal ini telah memungkinkan agar daun tersebut tidak mengganggu air di vas, sehingga membantu untuk menjaga dapat bunga untuk tetap segar. Potonglah bagian bunga dengan cara miring ke atas atau kebawah, hal ini juga memungkinkan agar bunga akan menerima nutrisi yang cukup.
2. Memilih Vas Bunga yang Tepat
Bunga dengan ukuran yang lebih kecil cenderung akan terlihat menarik ketika dengan menggunakan vas pendek dan agak besar. Sementara bunga dengan ukuran lebih besar akan terlihat lebih elegan dengan menggunakan vas yang lebih tinggi. Tetapi dalam hal ini Anda masih tetap dapat memotong bagian bunga dengan panjang yang sesuai seperti selera Anda.
3. Membersihkan Vas Rangkaian Bunga
Pastikan vas yang akan Anda gunakan telah dibersihkan dari residu dengan cara dibilas. Jika Anda menggunakan vas yang terbuat dari kaca, maka Anda juga dapat menambahkan berbagai media didalamnya, seperti pasir, kerikil, atau manik-manik kaca pada bagian bawah vas. Hal ini telah dilakukan untuk dapat membantu mendukung bagian batang bunga dan juga untuk dapat memberikan nuansa yang menarik dari hasil pengaturan rangkaian bunga yang akan dibuat.
4. Mengisi Vas Dengan Air Bersuhu Kamar
Upayakan untuk dapat mengisi vas dengan air yang hangat, atau paling tidak bersuhu kamar. Hal ini dimaksudkan agar bunga yang masih kuncup cepat mekar, serta tetap segar dan tahan lama.
5. Menata Bunga Sesuai Ukurannya
Dalam menata bunga, maka upayakanlah agar bunga yang lebih besar dan lebih dominan harus yang paling pertama menjadi proritas untuk di rangkai. Cobalah untuk dapat menempatkan bunga-bunga di sudut yang berbeda untuk dapat membuat sebagian besar dari bentuk masing-masing dan memberikan pengaturan terlihat seimbang. Anda kemudian harus menambahkan bunga-bunga kecil dan akhirnya dedaunan untuk dapat mengisi kesenjangan dan menonjolkan perpaduan warna dari pengaturan tersebut.
Itulah tahapan-tahapan cara merangkai bunga yang bisa Anda implementasikan untuk dapat memperindah suasana ruangan rumah Anda.
But an unusual assortment of players, including furniture makers, the Chinese government, Republicans from states with a large base of furniture manufacturing and even some Democrats who championed early regulatory efforts, have questioned the E.P.A. proposal. The sustained opposition has held sway, as the agency is now preparing to ease key testing requirements before it releases the landmark federal health standard.
The E.P.A.’s five-year effort to adopt this rule offers another example of how industry opposition can delay and hamper attempts by the federal government to issue regulations, even to control substances known to be harmful to human health.
Formaldehyde is a known carcinogen that can also cause respiratory ailments like asthma, but the potential of long-term exposure to cause cancers like myeloid leukemia is less well understood.
The E.P.A.’s decision would be the first time that the federal government has regulated formaldehyde inside most American homes.
“The stakes are high for public health,” said Tom Neltner, senior adviser for regulatory affairs at the National Center for Healthy Housing, who has closely monitored the debate over the rules. “What we can’t have here is an outcome that fails to confront the health threat we all know exists.”
The proposal would not ban formaldehyde — commonly used as an ingredient in wood glue in furniture and flooring — but it would impose rules that prevent dangerous levels of the chemical’s vapors from those products, and would set testing standards to ensure that products sold in the United States comply with those limits. The debate has sharpened in the face of growing concern about the safety of formaldehyde-treated flooring imported from Asia, especially China.
What is certain is that a lot of money is at stake: American companies sell billions of dollars’ worth of wood products each year that contain formaldehyde, and some argue that the proposed regulation would impose unfair costs and restrictions.
Determined to block the agency’s rule as proposed, these industry players have turned to the White House, members of Congress and top E.P.A. officials, pressing them to roll back the testing requirements in particular, calling them redundant and too expensive.
“There are potentially over a million manufacturing jobs that will be impacted if the proposed rule is finalized without changes,” wrote Bill Perdue, the chief lobbyist at the American Home Furnishings Alliance, a leading critic of the testing requirements in the proposed regulation, in one letter to the E.P.A.
Industry opposition helped create an odd alignment of forces working to thwart the rule. The White House moved to strike out key aspects of the proposal. Subsequent appeals for more changes were voiced by players as varied as Senator Barbara Boxer, Democrat of California, and Senator Roger Wicker, Republican of Mississippi, as well as furniture industry lobbyists.
Hurricane Katrina in 2005 helped ignite the public debate over formaldehyde, after the deadly storm destroyed or damaged hundreds of thousands of homes along the Gulf of Mexico, forcing families into temporary trailers provided by the Federal Emergency Management Agency.
The displaced storm victims quickly began reporting respiratory problems, burning eyes and other issues, and tests then confirmed high levels of formaldehyde fumes leaking into the air inside the trailers, which in many cases had been hastily constructed.
Public health advocates petitioned the E.P.A. to issue limits on formaldehyde in building materials and furniture used in homes, given that limits already existed for exposure in workplaces. But three years after the storm, only California had issued such limits.
Industry groups like the American Chemistry Council have repeatedly challenged the science linking formaldehyde to cancer, a position championed by David Vitter, the Republican senator from Louisiana, who is a major recipient of chemical industry campaign contributions, and whom environmental groups have mockingly nicknamed “Senator Formaldehyde.”
By 2010, public health advocates and some industry groups secured bipartisan support in Congress for legislation that ordered the E.P.A. to issue federal rules that largely mirrored California’s restrictions. At the time, concerns were rising over the growing number of lower-priced furniture imports from Asia that might include contaminated products, while also hurting sales of American-made products.
Maneuvering began almost immediately after the E.P.A. prepared draft rules to formally enact the new standards.
White House records show at least five meetings in mid-2012 with industry executives — kitchen cabinet makers, chemical manufacturers, furniture trade associations and their lobbyists, like Brock R. Landry, of the Venable law firm. These parties, along with Senator Vitter’s office, appealed to top administration officials, asking them to intervene to roll back the E.P.A. proposal.
The White House Office of Management and Budget, which reviews major federal regulations before they are adopted, apparently agreed. After the White House review, the E.P.A. “redlined” many of the estimates of the monetary benefits that would be gained by reductions in related health ailments, like asthma and fertility issues, documents reviewed by The New York Times show.
As a result, the estimated benefit of the proposed rule dropped to $48 million a year, from as much as $278 million a year. The much-reduced amount deeply weakened the agency’s justification for the sometimes costly new testing that would be required under the new rules, a federal official involved in the effort said.
“It’s a redlining blood bath,” said Lisa Heinzerling, a Georgetown University Law School professor and a former E.P.A. official, using the Washington phrase to describe when language is stricken from a proposed rule. “Almost the entire discussion of these potential benefits was excised.”
“That’s a huge difference,” said Luke Bolar, a spokesman for Mr. Vitter, of the reduced estimated financial benefits, saying the change was “clearly highlighting more mismanagement” at the E.P.A.
Advertisement
The review’s outcome galvanized opponents in the furniture industry. They then targeted a provision that mandated new testing of laminated wood, a cheaper alternative to hardwood. (The California standard on which the law was based did not require such testing.)
But E.P.A. scientists had concluded that these laminate products — millions of which are sold annually in the United States — posed a particular risk. They said that when thin layers of wood, also known as laminate or veneer, are added to furniture or flooring in the final stages of manufacturing, the resulting product can generate dangerous levels of fumes from often-used formaldehyde-based glues.
Industry executives, outraged by what they considered an unnecessary and financially burdensome level of testing, turned every lever within reach to get the requirement removed. It would be particularly onerous, they argued, for small manufacturers that would have to repeatedly interrupt their work to do expensive new testing. The E.P.A. estimated that the expanded requirements for laminate products would cost the furniture industry tens of millions of dollars annually, while the industry said that the proposed rule over all would cost its 7,000 American manufacturing facilities over $200 million each year.
“A lot of people don’t seem to appreciate what a lot of these requirements do to a small operation,” said Dick Titus, executive vice president of the Kitchen Cabinet Manufacturers Association, whose members are predominantly small businesses. “A 10-person shop, for example, just really isn’t equipped to handle that type of thing.”
Big industry players also weighed in. Executives from companies including La-Z-Boy, Hooker Furniture and Ashley Furniture all flew to Washington for a series of meetings with the offices of lawmakers including House Speaker John Boehner, Republican of Ohio, and about a dozen other lawmakers, asking several of them to sign a letter prepared by the industry to press the E.P.A. to back down, according to an industry report describing the lobbying visit.
The industry lobbyists also held their own meeting at E.P.A. headquarters, and they urged Jim Jones, who oversaw the rule-making process as the assistant administrator for the agency’s Office of Chemical Safety and Pollution Prevention, to visit a North Carolina furniture manufacturing plant. According to the trade group, Mr. Jones told them that the visit had “helped the agency shift its thinking” about the rules and how laminated products should be treated.
The resistance was particularly intense from lawmakers like Mr. Wicker of Mississippi, whose state is home to major manufacturing plants owned by Ashley Furniture Industries, the world’s largest furniture maker, and who is one of the biggest recipients in Congress of donations from the industry’s trade association. Asked if the political support played a role, a spokesman for Mr. Wicker replied: “Thousands of Mississippians depend on the furniture manufacturing industry for their livelihoods. Senator Wicker is committed to defending all Mississippians from government overreach.”
Individual companies like Ikea also intervened, as did the Chinese government, which claimed that the new rule would create a “great barrier” to the import of Chinese products because of higher costs.
Perhaps the most surprising objection came from Senator Boxer, of California, a longtime environmental advocate, whose office questioned why the E.P.A.’s rule went further than her home state’s in seeking testing on laminated products. “We did not advocate an outcome, other than safety,” her office said in a statement about why the senator raised concerns. “We said ‘Take a look to see if you have it right.’ ”
Safety advocates say that tighter restrictions — like the ones Ms. Boxer and Mr. Wicker, along with Representative Doris Matsui, a California Democrat, have questioned — are necessary, particularly for products coming from China, where items as varied as toys and Christmas lights have been found to violate American safety standards.
While Mr. Neltner, the environmental advocate who has been most involved in the review process, has been open to compromise, he has pressed the E.P.A. not to back down entirely, and to maintain a requirement that laminators verify that their products are safe.
An episode of CBS’s “60 Minutes” in March brought attention to the issue when it accused Lumber Liquidators, the discount flooring retailer, of selling laminate products with dangerous levels of formaldehyde. The company has disputed the show’s findings and test methods, maintaining that its products are safe.
“People think that just because Congress passed the legislation five years ago, the problem has been fixed,” said Becky Gillette, who then lived in coastal Mississippi, in the area hit by Hurricane Katrina, and was among the first to notice a pattern of complaints from people living in the trailers. “Real people’s faces and names come up in front of me when I think of the thousands of people who could get sick if this rule is not done right.”
An aide to Ms. Matsui rejected any suggestion that she was bending to industry pressure.
“From the beginning the public health has been our No. 1 concern,” said Kyle J. Victor, an aide to Ms. Matsui.
But further changes to the rule are likely, agency officials concede, as they say they are searching for a way to reduce the cost of complying with any final rule while maintaining public health goals. The question is just how radically the agency will revamp the testing requirement for laminated products — if it keeps it at all.
“It’s not a secret to anybody that is the most challenging issue,” said Mr. Jones, the E.P.A. official overseeing the process, adding that the health consequences from formaldehyde are real. “We have to reduce those exposures so that people can live healthy lives and not have to worry about being in their homes.”
William Sokolin, Wine Seller Who Broke Famed Bottle, Dies at 85
The bottle Mr. Sokolin famously broke was a 1787 Château Margaux, which was said to have belonged to Thomas Jefferson. Mr. Sokolin had been hoping to sell it for $519,750.