Promo Paket Haji Plus 2015 di Jakarta Selatan Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Promo Paket Haji Plus 2015 di Jakarta Selatan Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
Pemerintah akan percepat pembangunan
sejumlah pembangkit listrik tenaga uap di Tanah Air.
NUSA DUA, Saco-
Indonesia.com — Pemerintah akan percepat pembangunan sejumlah pembangkit
listrik tenaga uap di Tanah Air. Hal ini dilakukan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar
minyak pembangkit listrik dan antisipasi pelarangan impor batu bara kalori rendah oleh
China.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyampaikan hal itu dalam
pembukaan acara CoalTrans Asia, Senin (3/6/2013), di Nusa Dua, Bali. Acara itu dihadiri
sekitar 2.000 peserta dari berbagai negara.
Dalam bauran energi nasional, porsi BBM
masih mencapai 49,7 persen, sedangkan porsi gas 20 persen, batu bara 24,5 persen, serta energi
baru terbarukan 6 persen. "Konsumsi minyak bumi harus turun karena mahal dan makin
terbatas jumlahnya sehingga subsidi BBM terlalu tinggi," ujarnya.
Pada 2025,
pemerintah menargetkan peran batu bara meningkat menjadi 33 persen dan pengembangan energi
baru terbarukan menjadi 17 persen. Adapun pemakaian minyak sebagai sumber energi akan
diturunkan menjadi 20 persen.
Terkait hal itu, pemerintah akan mempercepat realisasi
sejumlah proyek PLTU. Menurut rencana, pemerintah akan memasukkan sejumlah proyek PLTU dengan
total kapasitas minimal 5.000 MW ke dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik
10.000 MW tahap dua. Jadi, kapasitas pembangkit dalam program itu menjadi lebih dari 15.000
MW.
Peningkatan kebutuhan batu bara di dalam negeri itu dikombinasikan dengan situasi
pasar internasional batu bara yang tengah kelebihan suplai sehingga harga komoditas tambang
itu anjlok. "Jadi, sementara harga batu bara turun, produksi batu bara akan menambah
ketersediaan energi," katanya.
Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PT
PLN Murtaqi Syamsuddin sebelumnya menyatakan, pihaknya mengusulkan penambahan kapasitas tenaga
listrik sekitar 7.000 megawatt (MW) dalam program percepatan pembangkit 10.000 MW tahap dua.
Dengan tambahan kapasitas itu, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksikan 110
juta ton pada 2018.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia
(APBI), Supriyatna Suhala, menyatakan, industri siap memenuhi kebutuhan batu bara di dalam
negeri yang terus meningkat. Setiap tambahan kapasitas PLTU 1.000 MW, diperlukan tambahan
volume pasokan batu bara 3-3,5 juta ton.
Terkait wacana pelarangan impor batu bara
kalori rendah, yaitu di bawah 5.000 kilokalori, oleh China, Jero meminta agar para pelaku
memperluas pasar ekspor batu bara ke negara-negara lain di Asia.
Sumber : Kompas.com
Editor : Liwon
Maulana
Keluarga penumpang Malaysia Airlines di Medan datangi paranormal
Belum adanya kepastian mengenai keberadaan pesawat Malaysia Airlines MH370 yang hilang, telah membuat keluarga penumpang melakukan upaya untuk bisa mendapatkan informasi tambahan. Mereka bahkan juga mendatangi paranormal.
"Kami sudah ada upaya datang ke Kelenteng, dan jumpa orang pintar," kata Santi, adik bungsu Sugianto Lo yang berusia (48) tahun , salah seorang penumpang MH370 yang hilang, saat ditemui di rumah duka Jalan Bilal Gang Idris No 65 Medan, Jumat (14/3).
Namun, dari hasil penerawangan paranormal itu, keluarga tetap belum mendapat kejelasan. "Tidak jelas sekali (masih hidup atau tidak), orang pintarnya hanya bilang di laut, gak jelas laut mana. Tapi itu kan kata orang pintar, jadi belum 100 persen benar," sambung Santi.
Seperti yang telah diberitakan, Sugianto Lo juga merupakan salah satu dari 239 orang penumpang dan kru yang ada di pesawat Malaysia Airlines MH370 yang hilang setelah terbang dari Kuala Lumpur, Sabtu (8/3) dinihari. Hingga kini keberadaan pesawat itu belum jelas.
Sugianto dan istrinya dan Vinny Chynthya Tio berencana ke China untuk liburan. Pasangan ini berangkat dari Bandara Kualanamu Deli Serdang, Jumat (7/3) siang. Keduanya terbang ke China dengan pesawat Malaysia Airlines MH370 yang transit di Kuala Lumpur.
Belum adanya kepastian mengenai keberadaan pesawat Malaysia Airlines MH370 yang hilang, telah membuat keluarga penumpang melakukan upaya untuk bisa mendapatkan informasi tambahan. Mereka bahkan juga mendatangi paranormal.
"Kami sudah ada upaya datang ke Kelenteng, dan jumpa orang pintar," kata Santi, adik bungsu Sugianto Lo yang berusia (48) tahun , salah seorang penumpang MH370 yang hilang, saat ditemui di rumah duka Jalan Bilal Gang Idris No 65 Medan, Jumat (14/3).
Namun, dari hasil penerawangan paranormal itu, keluarga tetap belum mendapat kejelasan. "Tidak jelas sekali (masih hidup atau tidak), orang pintarnya hanya bilang di laut, gak jelas laut mana. Tapi itu kan kata orang pintar, jadi belum 100 persen benar," sambung Santi.
Seperti yang telah diberitakan, Sugianto Lo juga merupakan salah satu dari 239 orang penumpang dan kru yang ada di pesawat Malaysia Airlines MH370 yang hilang setelah terbang dari Kuala Lumpur, Sabtu (8/3) dinihari. Hingga kini keberadaan pesawat itu belum jelas.
Sugianto dan istrinya dan Vinny Chynthya Tio berencana ke China untuk liburan. Pasangan ini berangkat dari Bandara Kualanamu Deli Serdang, Jumat (7/3) siang. Keduanya terbang ke China dengan pesawat Malaysia Airlines MH370 yang transit di Kuala Lumpur.
How Some Men Fake an 80-Hour Workweek, and Why It Matters
Imagine an elite professional services firm with a high-performing, workaholic culture. Everyone is expected to turn on a dime to serve a client, travel at a moment’s notice, and be available pretty much every evening and weekend. It can make for a grueling work life, but at the highest levels of accounting, law, investment banking and consulting firms, it is just the way things are.
Except for one dirty little secret: Some of the people ostensibly turning in those 80- or 90-hour workweeks, particularly men, may just be faking it.
Many of them were, at least, at one elite consulting firm studied by Erin Reid, a professor at Boston University’s Questrom School of Business. It’s impossible to know if what she learned at that unidentified consulting firm applies across the world of work more broadly. But her research, published in the academic journal Organization Science, offers a way to understand how the professional world differs between men and women, and some of the ways a hard-charging culture that emphasizes long hours above all can make some companies worse off.
Ms. Reid interviewed more than 100 people in the American offices of a global consulting firm and had access to performance reviews and internal human resources documents. At the firm there was a strong culture around long hours and responding to clients promptly.
“When the client needs me to be somewhere, I just have to be there,” said one of the consultants Ms. Reid interviewed. “And if you can’t be there, it’s probably because you’ve got another client meeting at the same time. You know it’s tough to say I can’t be there because my son had a Cub Scout meeting.”
Some people fully embraced this culture and put in the long hours, and they tended to be top performers. Others openly pushed back against it, insisting upon lighter and more flexible work hours, or less travel; they were punished in their performance reviews.
The third group is most interesting. Some 31 percent of the men and 11 percent of the women whose records Ms. Reid examined managed to achieve the benefits of a more moderate work schedule without explicitly asking for it.
They made an effort to line up clients who were local, reducing the need for travel. When they skipped work to spend time with their children or spouse, they didn’t call attention to it. One team on which several members had small children agreed among themselves to cover for one another so that everyone could have more flexible hours.
A male junior manager described working to have repeat consulting engagements with a company near enough to his home that he could take care of it with day trips. “I try to head out by 5, get home at 5:30, have dinner, play with my daughter,” he said, adding that he generally kept weekend work down to two hours of catching up on email.
Despite the limited hours, he said: “I know what clients are expecting. So I deliver above that.” He received a high performance review and a promotion.
What is fascinating about the firm Ms. Reid studied is that these people, who in her terminology were “passing” as workaholics, received performance reviews that were as strong as their hyper-ambitious colleagues. For people who were good at faking it, there was no real damage done by their lighter workloads.
It calls to mind the episode of “Seinfeld” in which George Costanza leaves his car in the parking lot at Yankee Stadium, where he works, and gets a promotion because his boss sees the car and thinks he is getting to work earlier and staying later than anyone else. (The strategy goes awry for him, and is not recommended for any aspiring partners in a consulting firm.)
A second finding is that women, particularly those with young children, were much more likely to request greater flexibility through more formal means, such as returning from maternity leave with an explicitly reduced schedule. Men who requested a paternity leave seemed to be punished come review time, and so may have felt more need to take time to spend with their families through those unofficial methods.
The result of this is easy to see: Those specifically requesting a lighter workload, who were disproportionately women, suffered in their performance reviews; those who took a lighter workload more discreetly didn’t suffer. The maxim of “ask forgiveness, not permission” seemed to apply.
It would be dangerous to extrapolate too much from a study at one firm, but Ms. Reid said in an interview that since publishing a summary of her research in Harvard Business Review she has heard from people in a variety of industries describing the same dynamic.
High-octane professional service firms are that way for a reason, and no one would doubt that insane hours and lots of travel can be necessary if you’re a lawyer on the verge of a big trial, an accountant right before tax day or an investment banker advising on a huge merger.
But the fact that the consultants who quietly lightened their workload did just as well in their performance reviews as those who were truly working 80 or more hours a week suggests that in normal times, heavy workloads may be more about signaling devotion to a firm than really being more productive. The person working 80 hours isn’t necessarily serving clients any better than the person working 50.
In other words, maybe the real problem isn’t men faking greater devotion to their jobs. Maybe it’s that too many companies reward the wrong things, favoring the illusion of extraordinary effort over actual productivity.
Betsy von Furstenberg, Baroness and Versatile Actress, Dies at 83
Ms. von Furstenberg made her debut in the movies and on the Broadway stage in the early 1950s as a teenager and later reinvented herself as a television actress, writer and philanthropist.