Promo Paket Umroh 2015 di Tangerang Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Promo Paket Umroh 2015 di Tangerang Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
Pada umumnya, tiap osiloskop sudah dilengkapi sumber sinyal acuan untuk kalibrasi. Sebagai contoh, osiloskop GW tipe tertentu me
Pada umumnya, tiap osiloskop sudah dilengkapi sumber sinyal acuan untuk kalibrasi. Sebagai contoh, osiloskop GW tipe tertentu mempunyai acuan gelombang persegi dengan amplitudo 2V peak to peak dengan frekuensi 1 KHz.
Misalkan kanal 1 yang akan dikalibrasi, maka BNC probe dihubungkan ke terminal masukan kanal 1, seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar di atas menggunakan probe 1X, dengan ujung probe yang merah dihubungkan ke terminal kalibrasi. Capit buaya yang hitam tidak perlu dihubungkan ke ground osiloskop karena sudah terhubung secara internal. Pada layar osiloskop akan nampak gelombang persegi. Atur tombol kontrol VOLTS/DIV dan TIME/DIV sampai diperoleh gambar yang jelas dengan amplitudo 2 V peak to peak dengan frekuensi 1 KHz., seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Gunakan tombol kontrol posisi vertikal V-pos untuk menggerakkan seluruh gambar dalam arah vertikal dan tombol horizontal H-pos untuk menggerakkan seluruh gambar dalam arah horizontal. Cara ini dilakukan agar letak gambar mudah dilihat dan dibaca.
PERHITUNGAN ZAKAT MENURUT ISLAM
perhitungan zakat menurut islam
1- Zakat Mata Uang
Jika harta
seseorang senilai 85 gram emas atau 595 gram
Jika harta seseorang senilai 85 gram emas atau 595 gram perak,
dengan hitungan nilai pada saat dia mengeluarkan zakat sesuai dengan nilai mata uang negara orang
yang membayar zakat, maka dia keluarkan zakatnya sebanyak 2½ %, setelah setiap putaran
tahun hijriyah dan harta sampai senisab.
Suatu contoh: Seseorang mempunyai
harta seba-nyak Rp.10.000.000,-, setelah satu tahun putaran, maka dia harus mengeluarkan zakat
sebagai berikut:
Rp.10.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.250.000,-
2- Zakat Utang
Piutang
Jika seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan masa
pinjaman berlalu beberapa waktu, maka menurut pendapat ulama yang paling mudah*1, orang yang
memberi pinjaman harus mengeluarkan zakat piutang dalam jangka setahun saja walaupun hutang
tersebut berlalu bertahun-tahun.
Suatu contoh Aiman memberi pinjaman uang ke-
pada seseorang yang bernama Ahmad sebanyak Rp. 15.000.000,- dan pinjaman tersebut bertahan pada
Ahmad selama tiga tahun, maka siapa yang wajib mengeluarkan zakat dan berapa jumlah zakat yang
harus dibayar?
Yang berkewajiban mengeluarkan zakat adalah Aiman karena dia
pemilik harta tersebut dan dia wajib mengeluarkan zakat dalam jangka setahun saja sebesar:
Rp.15.000.000,-
x
25
1000
x
1 tahun = Rp.375.000,-
*1 Demikian itu adalah pendapat Imam Malik baik utang yang
diharapkan pengembaliannya atau tidak dengan syarat tidak diakhirkan penyerahan-nya tersendiri
dari zakat. Jika tidak, maka wajib mengeluarkan zakat tiap tahun yang telah berlalu dari masa
hutang. Sebagaimana pendapat Ibnu Qasim Al-Maliki bahwa yang lebih hati-hati adalah mengeluarkan
zakat piutang setiap tahun sepanjang masa piutang seperti pendapat madzhab Hambali.
3- Zakat Profesi
Jika seorang muslim memperoleh
pendapatan dari hasil usaha atau profesi tertentu, maka dia boleh menge-luarkan zakatnya langsung
2½ % pada saat penerimaan setelah dipotong kebutuhan bulanannya atau menunggu putaran satu
tahun dan dikeluarkan zakatnya bersama dengan harta benda lain yang wajib dizakati senilai
2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki harta yang diza-kati setiap tahun
di awal bulan Muharram, jika dia mene-rima gaji pada bulan Ramadhan, maka dia boleh memilih
ketentuan di bawah ini:
Mengeluarkan zakat profesi dari gaji bulan Rama-dhan
tersendiri pada bulan itu *2 atau,
Ditunda pembayaran zakat profesi digabung
dengan harta yang lain dan dikeluarkan secara bersama pada bulan Muharram.
Secara kaidah bahwa harta itu wajib dizakati sekali dalam setahun.
*2
Termasuk harta profesi antara lain gaji atau pendapatan dari suatu profesi atau keahlian, boleh
dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu putaran haul (tahun), tetapi tidak boleh dizakati dua kali
dalam setahun.
4- Zakat Saham dan Kertas Berharga
Saham dan kertas berharga*3 bila telah sampai seni-sab wajib dikeluarkan zakatnya bersama
keuntungannya, seperti nisab mata uang dan kadar zakat sebesar 2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki saham, pada saat mau mengeluarkan zakatnya saham tersebut
menurut harga pasar senilai Rp.50.000.000,- dan tiap tahun mendapat-kan laba sebesar
Rp.5.000.000,- sehingga jumlah harta keseluruhan sebesar Rp.50.000.000,- + Rp.5.000.000,- =
Rp.55.000.000,-.
Zakatnya:
Rp.55.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.1.375.000,-
*3 Kertas berharga
biasanya tercampur dengan nilai yang haram yaitu riba, tetap wajib dikeluarkan zakatnya, karena
dibolehkan menyalurkan hasil yang haram untuk kepentingan umum kaum muslimin
5- Zakat Perhiasan Wanita
Pendapat tengah-tengah di
antara pendapat para ulama adalah pendapat yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallaahu
anhu bahwa beliau berfatwa tentang wajibnya zakat perhiasan sekali dalam seumur dan bukan setiap
putaran haul (tahun)*4 , tetapi jika membeli perhiasan lain maka dia harus mengeluarkan zakat
perhiasan yang baru dibeli itu dengan syarat barang tersebut hanya untuk perhiasan*5. Adapun
peralatan dan wadah yang terbuat dari emas bila telah sampai senisab, maka harus dikeluarkan
zakatnya.
Suatu contoh: Seorang wanita memiliki perhiasan emas seberat 100 gram
yang dipakai untuk perhiasan, bagaimana mengeluarkan zakatnya?
Jawab: Wajib
bagi wanita mengeluarkan zakat per-hiasan tersebut sekali dalam seumur.
100 x 2½
=
25
100
gr.
atau berupa uang senilai 2½ gr.
Jika dia membeli lagi emas untuk perhiasan
sebe-rat 100 gram, maka dia harus mengeluarkan zakatnya sebesar 2½ gram sekali saja seumur
hidup.
*4 Pendapat ini terdapat dalam kitab Al-Muhalla 6/78 dan
Sunan Kubra 4/ 138
*5 Kadar zakat yang wajib dikeluarkan baik emas maupun perak
sebesar 2½ %.
6- Zakat Apartemen, Perkantoran dan Tanah
Persewaan
(A). Barangsiapa yang memiliki apartemen,
ruko atau tanah yang disewakan, maka dia wajib mengeluar-kan zakat dari hasil penyewaan sebesar
2½ %, bila telah sampai senisab.
Suatu contoh: Seseorang memiliki ruko
untuk disewakan tahunan dengan nilai sewa sebesar Rp.20.000.000,- bagaimana cara mengeluarkan
zakatnya?
Jawab: Kadar zakatnya 2½%
Rp.20.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.500.000,-
Catatan: Jika gedung tersebut belum ada yang menyewa
maka belum ada kewajiban mengeluarkan zakat.
(B). Jika
seseorang menjual gedung tersebut, ma-ka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil penjualan
sebesar 2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki tanah kosong kemudian
dijual dan laku seharga Rp.100.000.000,- dan se-belum terjual tanah tersebut berada di bawah
kepemilikan-nya selama tiga tahun tanpa mendapatkan keuntungan karena tidak ada yang menyewa.
Maka dia wajib menge-luarkan zakat dari hasil penjualan saja dengan perincian:
Rp.100.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.2.500.000,-
Dan dikeluarkan cukup setahun itu saja sesuai de-ngan pendapat yang
paling mudah.*6
Kaidah: Jika gedung atau tanah tersebut diguna-kan untuk
keperluan pribadi tidak wajib dizakati.
*6 Demikian itu adalah pendapat dari
madzhab Malikiyah, alasan mereka bahwa harta persewaan sebelum terjual tidak berkembang sehingga
tidak harus dizakati. Lihat Syarh Kabir dan Hasyiyah Dasuqi 1/457. Dan untuk
lebih hati-hati sebaiknya mengeluarkan zakatnya setiap tahun bila jelas tanah tersebut d
iproyeksikan untuk niaga.
7- Zakat Perdagangan
Seorang pedagang hendaknya menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli lalu
digabung-kan dengan keuntungan bersih setelah dipotong piutang. Kadar zakatnya 2½
%.*7
Suatu contoh: Seorang pedagang menjumlah barang dagangan di akhir tahun
dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia
mempunyai hutang sebesar Rp.100.000.000,-.
Jumlah harta
zakat: Rp.100.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp.150.000.000,-
Zakatnya: Rp.150.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.3.750.000,-
*7 Modal tetap tidak wajib dizakati seperti gedung, perkakas dan alat
opera-sional perdagangan
8- Zakat Tanaman
Jika biji-bijian atau buah-buahan*8 telah sampai senisab yaitu lima wasak atau seberat +
670 kg, maka wajib dikeluarkan zakatnya 10% bila disiram dengan air hujan dan 5% jika menggunakan
alat atau memindah air dari tempat lain dengan kendaraan atau yang lainnya.
Suatu contoh: Seorang petani memetik hasil panen sebanyak lima ton gandum dan dua ton
korma, maka berapa zakat yang harus dikeluarkan jika dia mengguna-kan alat penyiram tanaman?
Zakat gandum: 5000
x
5
100
=
250 kg.
Zakat korma: 2000
x
5
100
=
100 kg.
*8 Hasil-hasil pertanian
selain biji-bijian dianggap sebagai buah-buahan, seperti sayur mayur segar dan buahan-buahan
masih dalam kelompok barang-barang niaga yang kadar zakatnya 2½ %. Meskipun Madzhab Hanafi
berpendapat wajib mengeluarkan zakat setiap tanaman yang ditumbuhkan bumi sekadar 5% atau 10%
sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
9- Zakat
Peternakan
Jika seseorang memiliki lima onta, maka ia wajib
mengeluarkan zakat seekor kambing dan jika memiliki tiga puluh sapi, maka dia harus mengeluarkan
tabi’i (sapi yang berumur setahun). Jika memiliki kambing empat puluh, maka dia
wajib mengeluarkan zakat seekor kambing. Apabila jumlah hewan ternak lebih dari hitung-an di
atas, maka cara mengeluarkan zakat seperti pada tabel di bawah ini:
Selain
hewan yang tersebut di atas masuk dalam kelompok barang niaga bila diproyeksikan sebagai barang
perdagangan.
Tabel Zakat Hewan Ternak yang Hidup di Padang
Gembala
Tabel Zakat Kambing
Nisab
Zakat yang harus dikeluarkan
Dari
Sampai
40
120
1 Kambing
121
200
2 Kambing
201
3 Kambing
Kemudian setiap 100
kambing zakatnya seekor kambing
* Tidak
boleh mengambil zakat berupa pejantan, hewan yang sudah tua sekali, cacat atau paling
buruk.
* Tidak boleh mengambil zakat berupa hewan pincang,
hewan betina yang mau melahirkan, hewan potong atau hewan termahal.
Tabel Zakat Onta
Nisab
Zakat yang harus dikeluarkan
Dari
Sampai
5
9
1 Kambing
10
14
2 Kambing
15
19
3 Kambing
20
24
4 Kambing
25
35
1 Bintu Makhadh
36
45
1 Bintu labun
46
60
1 Hiqqah
61
75
1 Jad’ah
76
90
2 Bintu Labun
91
120
2 Hiqqah
121
3 Bintu Labun
Kemudian setiap 40 onta zakatnya satu Bintu Labun
dan setiap 50 onta zakatnya 1 Hiqqah.
Bintu
Makhadh adalah onta yang telah berumur satu tahun, dinamakan seperti itu karena induknya
sedang hamil.
Bintu Labun adalah onta yang telah
berumur dua tahun, dinamakan seperti itu karena induknya sedang menyusui lagi.
Hiqqah adalah onta yang telah berumur tiga tahun, dinamakan seperti itu
karena sudah mampu dan berhak dikendarai.
Jad’ah adalah onta telah yang berumur empat tahun
Tabel Zakat Sapi
Nisab
Zakat yang harus dibayarkan
Dari
Sampai
30
39
1 Tabii’ atau
Tabii’ah
40
59
1 Musinnah
60
2
Tabii’ah
Kemudian setiap tiga
puluh sapi zakatnya satu tabii’i dan setiap empat puluh sapi satu Musinnah.
* Tabii’ atau Tabii’ah adalah sapi yang
telah berumur satu tahun.
* Musinnah adalah sapi yang telah
berumur dua tahun.
10- Zakat Madu Tawon
Jika hasil madu
mencapai nisab seberat 670 kg, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 10 % dari be-rat bersih
madu setelah dipotong biaya produksi.
Suatu contoh: Zakat 1000 kg madu
adalah:
1000 kg
x
10
100
=
100 kg.
11- Zakat Barang Tambang
Hasil tambang
dan minyak serta gas bumi hasilnya harus disalurkan ke Baitul Mal untuk kepentingan umum dan
kebutuhan ummat.
Jika ada seseorang atau perusahaan diberi kesem-patan
menambang dan mengolah barang tambang terse-but, maka dia harus mengeluarkan zakat sebesar
2½ % dari penghasilan yang telah dikelola. Termasuk kelom-pok barang tambang yaitu seluruh
bahan bangunan seperti batu atau pasir, juga harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2½ % dari
hasil yang telah diperoleh.*9
*9 Zakat hasil tambang tidak disyaratkan putaran
haul (tahun), wajib menge-luarkan zakat pada saat barang tambang telah selesai proses
pengolahan.
12- Zakat Hasil Laut dan Perikanan
Jika seorang nelayan atau perusahaan pengolah hasil laut menangkap ikan kemudian hasil
tersebut dijual, maka dia wajib mengeluarkan zakat seperti zakat niaga yaitu 2½% (*10)
demikian itu bila hasilnya telah sampai senisab seperti nisabnya mata uang.
Suatu contoh: Suatu perusahaan penangkap ikan menghasilkan satu ton ikan, kemudian dijual
kepada konsumen seharga Rp.4.000.00,-, berapa zakat yang harus dibayar.*11
Zakatnya: Rp.4.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.100.000,-
*10 Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad seperti yang telah
disebut-kan dalam kitab Al-Mughni 3/28.
*11 Artinya nilai jual ikan seharga
nisabnya mata uang yaitu 85 gr emas
13- Zakat Fitrah
A. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah setelah
matahari terbenam akhir bulan Ramadhan dan lebih utama jika dibayarkan sebelum keluar shalat Idul
Fitri dan boleh dibayarkan dua hari sebelum hari raya *12 , demi menjaga kemaslahatan orang
fakir. Dan haram mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga habis shalat dan barangsiapa
melakukan perbuatan tersebut, maka harus menggantinya.*13
B. Seorang muslim
wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya seperti
isterinya, anaknya, dan pembantunya yang muslim. Akan tetapi boleh bagi seorang isteri atau anak
atau pembantu membayar zakat sendiri.
C. Kadar zakat fitrah
yang harus dibayar*14 adalah satu sha’ dari makanan pokok negara setempat, dan
satu sha’ untuk ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg (keten-tuan ini sesuai makanan
pokok gandum).
Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan
cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan
genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha’ sama dengan empat
mud.
Contoh: Seseorang mempunyai satu isteri dan empat orang anak
serta satu pembantu muslim, berapa dia harus membayar zakat fitrah untuk mereka?
Dengan ukuran sha’ dia harus membayar 7 x 1 sha’ = 7 sha’
Dengan takaran atau timbangan sekarang berupa gandum: 7 x 2,176 kg = 15,232 kg atau lima
belas kilo dua ratus tiga puluh dua gram.
Dan dengan kita meraup gandum dengan
dua tela-pak tangan: 7 x 4 = 28 kali raupan dari makanan pokok baik berupa korma, gandum, anggur
kering, susu ke-ring, jagung atau beras.
D. Dianjurkan
mengeluarkan zakat dengan makanan*15 , Imam Abu Hanifah membolehkan membayar dengan uang dan ini
pendapat yang lebih mudah terlebih bagi lingkungan industri.*16
Kadar nilai
zakat disesuaikan dengan harga makan-an pokok masing-masing negara, jika seseorang ingin membayar
zakat dengan korma sebanyak dua puluh kilo, maka hendaknya dia harus menanyakan harga kor-ma per
kilo untuk ukuran korma sedang, lalu dihitung dengan mata uang setempat.
*12
Menurut madzhab Hambali boleh mengeluarkan zakat setelah pertengah-an bulan Ramadhan, pendapat
ini lebih mempermudah khususnya bagi negara yang menangani langsung pembayaran zakat fitrah, atau
jika yang menangani itu yayasan-yayasan sosial, sehingga mempermudah mereka dalam pengumpulan dan
pembagiannya pada hari Ied.
*13 Lihat Nailul Authar, 4/195. Fiqhuz
Zakah: 1/155.
*14 Dalam zakat fitrah tidak mengenal nisab, di saat ada kelebihan
dari kebutuhan makanan pada malam hari raya untuk dirinya dan keluarga-nya, maka seseorang wajib
membayar zakat fitrah.
*15 Para ulama madzhab tiga (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad)
tidak membo-lehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.
*16 Fiqhuz Zakah
, 1/949. Penulis pernah membuat semacam ide yang disampaikan lewat mimbar
pada tahun 1404 H. hendaknya zakat fitrah dikelola oleh pemerintah atau Lembaga Islam kemudian
disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan baik di dalam maupun luar negeri khususnya
negara-negara yang terkena krisis seperti negara Afrika atau Asia yang banyak menderita
kelaparan. Apalagi kristenisasi sangat gencar dengan berkedok bantuan sosial berupa makanan atau
obat-obatan untuk bantuan kelaparan dan bencana alam dimanfaatkan untuk pemurtadan sehingga
banyak di antara kaum muslimin yang keluar dari Islam hanya karena sesuap nasi seperti yang
terjadi di Indonesia.
Jika zakat fitrah tersebut bisa dikumpulkan setelah pertengahan
bulan Ramadhan, maka sangat mungkin zakat fitrah tersebut disalurkan kepada yang berhak pada
waktu itu juga. Dengan demikian pada saat hari raya orang-orang kelaparan bisa merasa kenyang dan
kecukupan, bila tidak apa mungkin seseorang dipaksa bergembira di hari raya sementara kela-paran
melilitnya.
Ex-C.I.A. Official Rebuts Republican Claims on Benghazi Attack in ‘The Great War of Our Time’
WASHINGTON — The former deputy director of the C.I.A. asserts in a forthcoming book that Republicans, in their eagerness to politicize the killing of the American ambassador to Libya, repeatedly distorted the agency’s analysis of events. But he also argues that the C.I.A. should get out of the business of providing “talking points” for administration officials in national security events that quickly become partisan, as happened after the Benghazi attack in 2012.
The official, Michael J. Morell, dismisses the allegation that the United States military and C.I.A. officers “were ordered to stand down and not come to the rescue of their comrades,” and he says there is “no evidence” to support the charge that “there was a conspiracy between C.I.A. and the White House to spin the Benghazi story in a way that would protect the political interests of the president and Secretary Clinton,” referring to the secretary of state at the time, Hillary Rodham Clinton.
But he also concludes that the White House itself embellished some of the talking points provided by the Central Intelligence Agency and had blocked him from sending an internal study of agency conclusions to Congress.
“I finally did so without asking,” just before leaving government, he writes, and after the White House released internal emails to a committee investigating the State Department’s handling of the issue.
A lengthy congressional investigation remains underway, one that many Republicans hope to use against Mrs. Clinton in the 2016 election cycle.
In parts of the book, “The Great War of Our Time” (Twelve), Mr. Morell praises his C.I.A. colleagues for many successes in stopping terrorist attacks, but he is surprisingly critical of other C.I.A. failings — and those of the National Security Agency.
Soon after Mr. Morell retired in 2013 after 33 years in the agency, President Obama appointed him to a commission reviewing the actions of the National Security Agency after the disclosures of Edward J. Snowden, a former intelligence contractor who released classified documents about the government’s eavesdropping abilities. Mr. Morell writes that he was surprised by what he found.
Advertisement
“You would have thought that of all the government entities on the planet, the one least vulnerable to such grand theft would have been the N.S.A.,” he writes. “But it turned out that the N.S.A. had left itself vulnerable.”
He concludes that most Wall Street firms had better cybersecurity than the N.S.A. had when Mr. Snowden swept information from its systems in 2013. While he said he found himself “chagrined by how well the N.S.A. was doing” compared with the C.I.A. in stepping up its collection of data on intelligence targets, he also sensed that the N.S.A., which specializes in electronic spying, was operating without considering the implications of its methods.
“The N.S.A. had largely been collecting information because it could, not necessarily in all cases because it should,” he says.
Mr. Morell was a career analyst who rose through the ranks of the agency, and he ended up in the No. 2 post. He served as President George W. Bush’s personal intelligence briefer in the first months of his presidency — in those days, he could often be spotted at the Starbucks in Waco, Tex., catching up on his reading — and was with him in the schoolhouse in Florida on the morning of Sept. 11, 2001, when the Bush presidency changed in an instant.
Mr. Morell twice took over as acting C.I.A. director, first when Leon E. Panetta was appointed secretary of defense and then when retired Gen. David H. Petraeus resigned over an extramarital affair with his biographer, a relationship that included his handing her classified notes of his time as America’s best-known military commander.
Mr. Morell says he first learned of the affair from Mr. Petraeus only the night before he resigned, and just as the Benghazi events were turning into a political firestorm. While praising Mr. Petraeus, who had told his deputy “I am very lucky” to run the C.I.A., Mr. Morell writes that “the organization did not feel the same way about him.” The former general “created the impression through the tone of his voice and his body language that he did not want people to disagree with him (which was not true in my own interaction with him),” he says.
But it is his account of the Benghazi attacks — and how the C.I.A. was drawn into the debate over whether the Obama White House deliberately distorted its account of the death of Ambassador J. Christopher Stevens — that is bound to attract attention, at least partly because of its relevance to the coming presidential election. The initial assessments that the C.I.A. gave to the White House said demonstrations had preceded the attack. By the time analysts reversed their opinion, Susan E. Rice, now the national security adviser, had made a series of statements on Sunday talk shows describing the initial assessment. The controversy and other comments Ms. Rice made derailed Mr. Obama’s plan to appoint her as secretary of state.
The experience prompted Mr. Morell to write that the C.I.A. should stay out of the business of preparing talking points — especially on issues that are being seized upon for “political purposes.” He is critical of the State Department for not beefing up security in Libya for its diplomats, as the C.I.A., he said, did for its employees.
But he concludes that the assault in which the ambassador was killed took place “with little or no advance planning” and “was not well organized.” He says the attackers “did not appear to be looking for Americans to harm. They appeared intent on looting and conducting some vandalism,” setting fires that killed Mr. Stevens and a security official, Sean Smith.
Mr. Morell paints a picture of an agency that was struggling, largely unsuccessfully, to understand dynamics in the Middle East and North Africa when the Arab Spring broke out in late 2011 in Tunisia. The agency’s analysts failed to see the forces of revolution coming — and then failed again, he writes, when they told Mr. Obama that the uprisings would undercut Al Qaeda by showing there was a democratic pathway to change.
“There is no good explanation for our not being able to see the pressures growing to dangerous levels across the region,” he writes. The agency had again relied too heavily “on a handful of strong leaders in the countries of concern to help us understand what was going on in the Arab street,” he says, and those leaders themselves were clueless.
Moreover, an agency that has always overvalued secretly gathered intelligence and undervalued “open source” material “was not doing enough to mine the wealth of information available through social media,” he writes. “We thought and told policy makers that this outburst of popular revolt would damage Al Qaeda by undermining the group’s narrative,” he writes.
Instead, weak governments in Egypt, and the absence of governance from Libya to Yemen, were “a boon to Islamic extremists across both the Middle East and North Africa.”
Mr. Morell is gentle about most of the politicians he dealt with — he expresses admiration for both Mr. Bush and Mr. Obama, though he accuses former Vice President Dick Cheney of deliberately implying a connection between Al Qaeda and Iraq that the C.I.A. had concluded probably did not exist. But when it comes to the events leading up to the Bush administration’s decision to go to war in Iraq, he is critical of his own agency.
Mr. Morell concludes that the Bush White House did not have to twist intelligence on Saddam Hussein’s alleged effort to rekindle the country’s work on weapons of mass destruction.
“The view that hard-liners in the Bush administration forced the intelligence community into its position on W.M.D. is just flat wrong,” he writes. “No one pushed. The analysts were already there and they had been there for years, long before Bush came to office.”
With Iran Talks, a Tangled Path to Ending Syria’s War
UNITED NATIONS — Wearing pinstripes and a pince-nez, Staffan de Mistura, the United Nations envoy for Syria, arrived at the Security Council one Tuesday afternoon in February and announced that President Bashar al-Assad had agreed to halt airstrikes over Aleppo. Would the rebels, Mr. de Mistura suggested, agree to halt their shelling?
What he did not announce, but everyone knew by then, was that the Assad government had begun a military offensive to encircle opposition-held enclaves in Aleppo and that fierce fighting was underway. It would take only a few days for rebel leaders, having pushed back Syrian government forces, to outright reject Mr. de Mistura’s proposed freeze in the fighting, dooming the latest diplomatic overture on Syria.
Diplomacy is often about appearing to be doing something until the time is ripe for a deal to be done.
Now, with Mr. Assad’s forces having suffered a string of losses on the battlefield and the United States reaching at least a partial rapprochement with Mr. Assad’s main backer, Iran, Mr. de Mistura is changing course. Starting Monday, he is set to hold a series of closed talks in Geneva with the warring sides and their main supporters. Iran will be among them.
In an interview at United Nations headquarters last week, Mr. de Mistura hinted that the changing circumstances, both military and diplomatic, may have prompted various backers of the war to question how much longer the bloodshed could go on.
“Will that have an impact in accelerating the willingness for a political solution? We need to test it,” he said. “The Geneva consultations may be a good umbrella for testing that. It’s an occasion for asking everyone, including the government, if there is any new way that they are looking at a political solution, as they too claim they want.”
He said he would have a better assessment at the end of June, when he expects to wrap up his consultations. That coincides with the deadline for a final agreement in the Iran nuclear talks.
Advertisement
Whether a nuclear deal with Iran will pave the way for a new opening on peace talks in Syria remains to be seen. Increasingly, though, world leaders are explicitly linking the two, with the European Union’s top diplomat, Federica Mogherini, suggesting last week that a nuclear agreement could spur Tehran to play “a major but positive role in Syria.”
It could hardly come soon enough. Now in its fifth year, the Syrian war has claimed 220,000 lives, prompted an exodus of more than three million refugees and unleashed jihadist groups across the region. “This conflict is producing a question mark in many — where is it leading and whether this can be sustained,” Mr. de Mistura said.
Part Italian, part Swedish, Mr. de Mistura has worked with the United Nations for more than 40 years, but he is more widely known for his dapper style than for any diplomatic coups. Syria is by far the toughest assignment of his career — indeed, two of the organization’s most seasoned diplomats, Lakhdar Brahimi and Kofi Annan, tried to do the job and gave up — and critics have wondered aloud whether Mr. de Mistura is up to the task.
He served as a United Nations envoy in Afghanistan and Iraq, and before that in Lebanon, where a former minister recalled, with some scorn, that he spent many hours sunbathing at a private club in the hills above Beirut. Those who know him say he has a taste for fine suits and can sometimes speak too soon and too much, just as they point to his diplomatic missteps and hyperbole.
They cite, for instance, a news conference in October, when he raised the specter of Srebrenica, where thousands of Muslims were massacred in 1995 during the Balkans war, in warning that the Syrian border town of Kobani could fall to the Islamic State. In February, he was photographed at a party in Damascus, the Syrian capital, celebrating the anniversary of the Iranian revolution just as Syrian forces, aided by Iran, were pummeling rebel-held suburbs of Damascus; critics seized on that as evidence of his coziness with the government.
Mouin Rabbani, who served briefly as the head of Mr. de Mistura’s political affairs unit and has since emerged as one of his most outspoken critics, said Mr. de Mistura did not have the background necessary for the job. “This isn’t someone well known for his political vision or political imagination, and his closest confidants lack the requisite knowledge and experience,” Mr. Rabbani said.
As a deputy foreign minister in the Italian government, Mr. de Mistura was tasked in 2012 with freeing two Italian marines detained in India for shooting at Indian fishermen. He made 19 trips to India, to little effect. One marine was allowed to return to Italy for medical reasons; the other remains in India.
He said he initially turned down the Syria job when the United Nations secretary general approached him last August, only to change his mind the next day, after a sleepless, guilt-ridden night.
Mr. de Mistura compared his role in Syria to that of a doctor faced with a terminally ill patient. His goal in brokering a freeze in the fighting, he said, was to alleviate suffering. He settled on Aleppo as the location for its “fame,” he said, a decision that some questioned, considering that Aleppo was far trickier than the many other lesser-known towns where activists had negotiated temporary local cease-fires.
“Everybody, at least in Europe, are very familiar with the value of Aleppo,” Mr. de Mistura said. “So I was using that as an icebreaker.”
The cease-fire negotiations, to which he had devoted six months, fell apart quickly because of the government’s military offensive in Aleppo the very day of his announcement at the Security Council. Privately, United Nations diplomats said Mr. de Mistura had been manipulated. To this, Mr. de Mistura said only that he was “disappointed and concerned.”
Tarek Fares, a former rebel fighter, said after a recent visit to Aleppo that no Syrian would admit publicly to supporting Mr. de Mistura’s cease-fire proposal. “If anyone said they went to a de Mistura meeting in Gaziantep, they would be arrested,” is how he put it, referring to the Turkish city where negotiations between the two sides were held.
Secretary General Ban Ki-moon remains staunchly behind Mr. de Mistura’s efforts. His defenders point out that he is at the center of one of the world’s toughest diplomatic problems, charged with mediating a conflict in which two of the world’s most powerful nations — Russia, which supports Mr. Assad, and the United States, which has called for his ouster — remain deadlocked.
R. Nicholas Burns, a former State Department official who now teaches at Harvard, credited Mr. de Mistura for trying to negotiate a cease-fire even when the chances of success were exceedingly small — and the chances of a political deal even smaller. For his efforts to work, Professor Burns argued, the world powers will first have to come to an agreement of their own.
“He needs the help of outside powers,” he said. “It starts with backers of Assad. That’s Russia and Iran. De Mistura is there, waiting.”