Travel Haji dan Umroh 2016 di Jakarta Utara Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Travel Haji dan Umroh 2016 di Jakarta Utara Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.
A.
Pengertian Ghazwul Fikri (GF)
Ø Secara Bahasa
Ghazwul Fikri
terdiri dari dua suku kata yaitu Ghazwah d
A. Pengertian Ghazwul
Fikri (GF)
Ø Secara Bahasa
Ghazwul Fikri
terdiri dari dua suku kata yaitu Ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti
serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan Fikr berarti pemikiran. Jadi, menurut bahasa
Ghazwul Fikri adalah serangan atau serbuan didalam qital (perang) atau Ghazwul Fikri
secara bahasa diartikan sebagai invansi pemikiran.
Ø Secara Istilah
Secara istilah, Ghazwul Fikri adalah penyerangan dengan
berbagai cara terhadap pemikiran umat islam guna merubah apa yang ada didalamnya sehingga tidak
lagi bisa mengeluarkan darinya hal – hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal
– hal yang tidak islami.
B. Makna Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri
(GF))
Invansi / serangan pemikiran atau dalam bahasa arab dinamakan ghazwul fikri
dan dalam bahasa inggris disebut dengan brain washing, thought control, menticide adalah
istilah yang menunjukkan kepada suatu program yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis
dan terstruktur oleh musuh – musuh islam untuk melakukan pendangkalan pemikiran dan cuci
otak kepada kaum muslimin. Hal ini mereka lakukan agar kaum muslimin tunduk dan mengikuti cara
hidup mereka sehingga melanggengkan kepentingan mereka untuk menjajah / mengeksploitasi sumber
daya milik kaum muslimin.
C. Kelebihan – Kelebihan Invansi
Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Invansi pemikiran atau ghazwul
fikri (GF) dilakukan oleh para musuh islam dengan pertimbangan – pertimbangan bahwa
dibandingkan dengan melakukan peperangan militer atau fisik, maka ghazwul fikri (GF)
memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut :
Aspek
Perang Fisik
Ghazwul Fikri
Biaya
Sangat mahal
Murah dan dikembalikan
Jangkauan
Terbatas di front
Sampai ke rumah - rumah
Obyek
Obyek merasakan
Sama sekali tidak merasa
Dampak
Mengadakan perlawanan
Menjadikan
idola
Persenjataan
Senjata
berat
Slogan, teori, iklan
D. Sejarah Ghazwul Fikri (GF)
Sejarah Ghazwul Fikri (GF) sudah ada setua umur manusia, makhluk yang pertama
kali melakukannya adalah iblis laknatullah ketika berkata kepada Adam as., “
Sesungguhnya Allah melarang kalian memakan buah ini supaya kalian berdua tidak menjadi
malaikat dan tidak dapat hidup abadi. “ (Q.S.Al –
A’Raaf:20)
Dalam perkataannya ini iblis
tidak menyatakan bahwa Allah tidak melarang kalian…karena itu akan bertentangan dengan
informasi yang telah diterima oleh Adam as., tetapi iblis mengemas dan menyimpangkan makna
perintah Allah SWT. Sesuai dengan keinginannya, yaitu dengan menambahkan alas an pelarangan Allah
yang dibuat sendiri. Iblis tahu bahwa Adam as tidak punya pengetahuan tentang sebab tersebut.
Demikianlah para murid – murid iblis dimasa kini selalu berusaha melakukan ghazwul
fikri dengan menyimpangkan fakta dan informasi yang ada sesuai dengan maksud jahatnya. Setan
melakukannya dengan cara yang sangat halus dan licin. Akibatnya, hanya orang – orang yang
dirahmati Allah SWT yang mampu mengetahuinya.
E.
Bidang – Bidang Yang di serang
1. Pendidikan
Pendidikan adalah aspek penting yang menentukan maju atau mundurnya
suatu bangsa. Oleh sebab itu, bidang pendidikan merupakan target utama dari ghazwul fikri
(GF). Ghazwul fikri (GF) yang dilakukan dibidang pendidikan, diantaranya dengan
membuat sedikitnya porsi pendidikan agama di sekolah – sekolah umum (hanya 2 jam
sepekan).
Hal ini berdampak fatal pada fondasi agama yang
dimiliki oleh para siswa. Dengan lemahnya basis agama mereka, maka terjadilah tawuran, seks bebas
pelajar yang meningkatkan AIDS, penyalahgunaan narkoba, vandalism, dan sebagaimananya. Ini adalah
dampak jangka pendek.
Sedangkan dampak jangka panjangnya
lebih berbahaya, yaitu rendahnya kualitas pemahaman agama para calon pemimpin bangsa dimasa
depan. Ghazwul fikri (GF) lainnya dibidang ini adalah pada teknis belajarnya yang campur
baur antara pria dan wanita yang jelas tidak sesuai dan banyak menimbulkan pelanggaran terhadap
syariat.
2.
Sejarah
Sejarah yang diajarkan perlu ditinjau ulang dan
disesuaikan dengan semangat islam. Materi tentang sejarah dunia dan ilmu pengetahuan telah
ghazwul fikri (GF) habis – habisan sehingga hamper tidak ditemui sama sekali
pemaparan tentang sejarah para ilmuan islam dan sumbangannya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Dalam sejarah yang dibahas hanyalah ilmuan
kafir yang pada akhirnya membuat generasi muda menjadi silau dengan tokoh – tokoh kafir dan
minder terhadap sejarahnya sendiri. Ketika berbicara tentang sejarah islam, di benak mereka
hanyalah terbayang sejarah peperangan dengan pedang dan darah sebagaimana yang selalu digambarkan
dalam kaca mata barat.
Hal ini lebih diperparah dengan
sejarah nasional dan penamaan perguruan tinggi, gedung – gedung, perlambangan, penghargaan
dan pusat ilmu lainnya dengan bahasa Hindu Sanksekerta, sehinga semakin hilanglah mutiara
kegemilangan islam dihati para generasi muda.
3. Ekonomi
Ghazwul
fikri (GF) yang terjadi dibidang ekonomi adalah konsekuensi dari motto ekonomi yaitu,
mencari keuntungan sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil – kecilnya. Ketika
motto ini ditelan habis – habisan tanpa dilakukan filterisasi, maka tidak lagi
memperhatikan halal atau haram, yang penting adalah bagaimana supaya untung sebesar –
besarnya.
Hal lain yang perlu dicermati dalam system
ekonomi kapitalisme, yaitu monopoli, riba dan pemihakan elit kepada para konglomerat. Mengenai
monopoli sudah tidak perlu dibahas lagi, cukup jika dikatakan bahwa Amerika Serikat sendiri telah
diberlakukan UU anti – trust (bagaimana di Indonesia?). Tentang riba dan haramnya
bunga bank rasanya bukan pada tempatnya jika dibahas disini, cukup dikatakan bahwa munculnya dan
berkembangnya bank tanpa bunga (bagi hasil), fatwa MUI, fatwa Universita Al Azhar Mesir,
kesepakatan para ulama islam dunia membuktikan bahaya bunga bank dan haramnya dalam islam.
Tentang keberpihakan kepada para konglomerat, semoga dengan perkembangan era reformasi saat ini
dapat diperbaiki.
4. Ilmu Alam dan Sosial
Pada bidang ilmu
– ilmu alam, ghazwul fikrii terbesar yang dilakukan adlah dengan dilakukannya
sekularisasi antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Bahaya lainnya adalah penisbatan teori
– teori ilmu pengetahuan kepada para ilmuan tanpa mengembalikannya kepada sang pemberi dan
pemilik ilmu, sehingga mengakibatkan kekaguman dan pujian hanya berhenti pada diri para ilmuwan
dan tidak bermuara kepada Allah SWT.
Hal lain adalah
berkembangnya berbagai teori – teori sesaat yang sebenarnya belum diterima secara ilmiah,
tetapi disebarkan secara besar – besaran oleh kelompok – kelompok tertentu untuk
menimbulkan keraguan pada agama. Misalnya, teori tentang asal usul makhluk hidup (the origins
of species) dari Darwin (yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari penemuan Herbert Spencer)
yang sebenarnya masih ada the missing link yang belum dapat menghubungkan antara manusia
dank era, tapi sudah “ diindoktrinasikan “ kemana – mana. Atau, teori Libido
seksualnya Freud, yang menyatakan bahwa jika manusia tidak dibebaskan sebebas – bebasnya
keinginan seksualnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan kejiwaan. Teori ini sudah dibantah
secara ilmiah dan pencetusnya sendiri (Freud) yang terus menggembar – gemborkan kebebasan
seksual, ternyata mati karena menderita penyakit kejiwaan (psikopath).
5. Bahasa
Ghazwul fikri (GF) dibidang bahasa adalah dengantidak
diajarkannya bahasa Al – Qur’an di sekolah – sekolah karena menganggapnya tidak
perlu. Hal yang nampaknya remeh ini sebenarnya sanagt besar akibatnya dan menjadi bencana bagi
kaum muslimin Indonesia secara umum. Dengan tidak memahami Al – Qur’an, mayoritas
kaum muslimin menjadi tidak mengerti apa kandungan Al – Qur’an, seperti firman Allah
dalam surah Al Baqarah:78 artinya “ Dan diantara mereka ada yang buta
huruf, tidak mengetahui Al – Kitab (taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga – duga “. Akibatnya, Al – Qur’an menjadi sekedar
bacaan tanpa arti (Al – Qur’an hanya dinikmati iramanya seperti layaknya lagu –
lagu dan nyayian belaka, yang akhirnya ditinggalkan seperti yang disebutkan dalam surah
Al Furqaan:30 yang artinya “ Berkata Rasul : Ya tuhanku, sesungguhnya
kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan “ dan surah
Al Furqaan:31 yang artinya “ Dan seperti itulah, setelah kami adakan
bagi tiap – tiap nabi, musuh dari orang – orang yang berdosa dan cukuplah Tuhanmu
menjadi pemberi petunjuk dan penolong. “)
Dampak lain dari kebodohan terhadap bahasa Al – Qur’an adalah terputusnya
hubungan kaum muslimin dengan perbendaharaan ilmu – ilmu keislaman yang telah disusun dan
dibukukan selama hamper 1000 tahun oleh para pakar dan ilmuwan islam terdahulu yang jumlahnya
mencapai jutaan judul buku, mencakup bidang – bidang akidah, tafsir, hadist, fiqih, sirah,
tarikh, ulumul qur’an, tazkiyyah dan sebagainya.
6. Hukum
Ghazwul fikri (GF) pada aspek hukum adalah penggunaan acuan hukum warisan
kolonial yang masih dipertahankan sebagai hukum yang berlaku, reduksi, dan penghapusan hukum
Allah SWT dan Rasul – Nya. Rasa takut dan alergi terhadap segala yang berbau syariat islam
merupakan keberhasilan ghazwul fikri (GF) dibidang ini. Penggambaran potong tangan bagi
pencuri dan rajam bagi penzina selalu ditonjolkan saat pembicaraan – pembicaraan tentang
kemungkinan adopsi terhadap beberapa hukum islam. Mereka melupakan bahwa hukum islam berpihak
(melindungi) korban kejahatan, sehingga hukuman keras dijatuhkan kepada pelaku kejahatan agar
perbuatannya tidak terulang dan orang lain takut untuk berbuat yang sama.
Sebaliknya, hukum barat berpihak (melindungi) pelaku kejahatan, sehingga
dengan hukuman tersebut memungkinkannya untuk mengulang lagi kejahatannya karena ringannya
hukuman tersebut. Laporan menunjukkan bahwa tingkat perkosaan yang terjadi di Kanada selama
sehari sama dengan kejahatan yang sama di Kuwait selama 12 tahun, bahkan pooling yang
dilakukan di masyarakat Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 3 masyarakat Amerika Serikat
menyetujui dijatuhkannya hukuman mati untuk pemerkosa.
7. Pengiriman pelajar dan mahasiswa ke
Luar Negeri
Ghazwul fikri (GF) dibidang ini
terjadi dalam dua aspek, yaitu : Brain drain dan Brain Washing. Brain
drain adalah pelarian para intelektual dari negara – negara islam ke negara –
negara maju karena insentif yang lebih besar dan fasilitas hidup yang lebih mewah bagi para
pekerja disana. Hal ini menyebabkan lambatnya pembangunan di negara – negara islam dan
semakin cepatnya kemajuan di negara – negara barat.
Data penelitian tahun 1996 menyebutkan bahwa perbandingan SDM bergelar doctor (S3) di
Indonesia baru 60 per sejuta penduduk, di Amerika Serikat dan Eropa antara 2500 – 3000
orang per sejuta, dan di Israel mencapai 16.000 per sejuta penduduk.
Sementara brain washing (cuci otak) dialami oleh para
intelektual yang sebagian besar berangkat ke negara – negara barat tanpa dibekali dengan
dasar – dasar keislaman yang cukup. Akibatnya, mereka pulang dengan membawa pola piker dan
perilaku yang bertentangan dengan nilai – nilai islam. Bahkan secara sadar atau tidak,
mereka ikut andil dalam membantu melanggengkan kepentingan barat dinegara mereka.
8. Media massa
Berbicara mengenai ghazwul fikri (GF) yang terjadi dalam
media massa, maka dapat dipilah pada aspek – aspek sebagai berikut :
· Aspek kehadirannya
Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari – hari dalam keluarga muslim,
missal TV. Dulu selepas maghrib, anak – anak biasanya mengaji dan belajar agama. Sekarang,
selepas maghrib anak – anak menonton acara – acara TV yang kebanyakan merusak dan
tidak bermanfaat. Sementara bagi para remaja dan orang tua dibandingkan dating ke pengajian dan
majlis – majlis taklim, mereka lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV.
Sebenarnya TV dapat menjadi srana dakwah yang luar biasa
(sesuai dengan teori komunikasi yang menyatkan bahwa media audio – visual memiliki pengaruh
yang tertinggi dalam membentuk kepribadian baik pada tingkat individu maupun masyarakat) asal
dikemas dan dirancang sesuai dengan nilai – nilai islam.
· Aspek isinya
Berbicara mengenai isi
yang ditampilkan oleh media massa yang merupakan produk ghazwul fikri (GF) diantaranya
adalah mengenai penokohan – penokohan atau orang – orang yang diidolakan. Media massa
yang ada tidak berusaha ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama,
ilmuwan, dan orang – orang yang dapat mendorong membangun bangsa agar mencapai kemajuan
IMTAK dan IPTEK sebagaimana yang digembar – gemborkan. Tetapi sebaliknya, justru tokoh yang
terus menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis,
menghambur – hamburkan uang (tabdzir), jauh dari memiliki IPTEK apalagi nilai
– nilai agama.
Hal ini jelas besar dampaknya pada
generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup, cita – citanya dan tentunya pada
kualitas bangsa dan Negara. Rpoduk lain dari ghazwul fikri (GF) yang menonjol dalam
media TV, misalnya porsi film – film islami yang dapat dikatakan tidak ada. Film yang
diputar 90% adalah film bergaya barat, sisanya adalah film nasional (yang juga bergaya barat),
film – film mandarin, dan film – film india.
F. Sasaran
dilakukannya Invansi Pemikiran (Ghazwul Fikri (GF))
Sasaran dari ghazwul
fikri (GF) adalah sebagai berikut :
1. Agar kaum
muslimin menjadi condong sedikit terhadap gaya, perilaku dan pola pikir barat, seperti dalam
Q.S. Al Israa:73 yang artinya “ Dan sesungguhnya mereka hampir
memalingkan kamu dari apa yang telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara
bohong terhadap kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang
setia. “ Q.S. Al Israa:74 yang artinya “ Dan kalau kami
tidak memperkuatkan (hati)mu, niscaya kamu hampir condong sedikit kepada mereka.”
Q.S. Al Israa:75 yang artinya “ Kalau terjadi demikian, benar –
benarlah kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat – lipat ganda didunia ini dan begitu
(pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun
terhadap kami.” Dan Q.S.Al Israa:76 yang artinya “ Dan
sesungguhnya benar – benar mereka hamper membuatmu gelisah di negeri (mekah) untuk
mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal
sebentar saja.”
2. Setelah kaum muslimin
condong sedikit, tahapan selanjutnya adalah agar kaum muslimin mengikuti sebagian dari gaya,
perilaku dan pola pikir mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Ad Dukhan:25
yang artinya “ Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka
tinggalkan.” Dan Q.S.Ad Dukhan:26 yang artinya “ Dan kebun
– kebun serta tempat – tempat yang indah – indah.”
3. Pada tahap ini diharapkan kaum muslimin beriman pada sebagiannya ayat
– ayat Al – Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW, tetapi kafir terhadap sebagian
yang lainnya. Sebagaimana dalam Q.S.Al Baqarah:85 yang artinya “
Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari
pada kamu dari kampong halaman. Kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan tetapi jika mereka dating kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka. Padahal
mengusir itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman pada sebagian Al Kitab(taurat) dan
ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari
padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
4. Pada tahap akhir, mereka menginginkan agar generasi kaum
muslimin mengikuti syahwat dan meninggalkan shalat. Sebagaimana dalam Q.S.Maryam:59
yang artinya “ Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia – nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan menemui
kesesatan.”
G. Tujuan Ghazwul Fikri (GF)
1. Menghambat kemajuan
umat islam agar tetap menjadi pengekor barat. Berbagai macam pendapat nyeleneh yang ditebarkan
para orientalis lewat media cetak dan elektronik berhasil menyita perhatian umat islam dan
mengetuk sebagian besar potensinya,baik untuk melakukan kajian, bantahan dan pelurusan.
2. Menjauhkan umat islam dari Al – Qur’an dan As
Sunnah serta ajaran – ajarannya. Dengan keraguan – raguan dan penyesatan terhadap
umat islam, ghazwul fikri (GF) menyeret orang – orang awam ke jurang yang
memisahkan mereka dari keislaman – Nya. Bahkan ada sebagian yang keluar dari islam dan
berpindah ke agama lain.
3. Memurtadkan umat islam. Inilah
yang digambarkan Al – Qur’an dalam Surah Al Baqarah:217 yang artinya
“ Mereka tidak henti – hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang
murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah sia –
sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.”
H.
Dampak Positif dan Negatif Gahzwul Fikri (GF)
Ø Dampak Positif
dari Ghazwul Fikri (GF)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mempermudah memberikan pekerjaan pada manusia yang ada di Negara ini.
Ø Dampak Negatif dari Ghazwul Fikri (GF)
- Perusakan akhlak umat islam terutama yang masih berusia muda.
- Berusaha menggiring umat islam kepada kekafiran, khususnya umat
islam yang tipis pemahaman keislamannya.
- Menjauhkan umat islam dari agamanya dan
mendekatkannya pada kekafiran.
* tentang ini saya
meempunyai pertanyaan : bolehkah Islam Menggunakan Cara Ini Untuk Mengebngkan Islam?
kepada pembaca yang budiman, mohon jawabannya melalui komentar.
terimakasih untuk
admin
Jokowi dinilai hanya akan jadi boneka Mega, Jika jadi presiden
Saco-Indonesia.com - Keputusan Jokowi maju sebagai presiden terus menuai kritik.
Saco-Indonesia.com - Keputusan Jokowi maju sebagai presiden terus menuai kritik. Jika nanti jadi presiden, Jokowi dinilai hanya akan menjadi bonek Ketua Umum PDIPMegawati Soekarnoputri .
"Kesan atau kekhawatiran bahwa Jokowi hanya akan menjadi boneka Megawati, tercipta karena Jokowi memiliki kepatuhan yang luar biasa pada Megawati. Sebagai kader partai dalam kultur yang nepotis, gaya Jokowi ini akan sukses mengantarnya sebagai calon presiden (capres) karena mampu menyenangkan hati Megawati," ujar Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Agung Suprio saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (18/3).
Agung menegaskan, kekhawatiran tersebut bisa berlanjut seandainya Jokowi menjadi Presiden. Menurut dia, kekhawatiran Jokowi menjadi boneka terutama pengambilan keputusan sebagai pimpinan.
"Begitu pula jika Jokowi terpilih menjadi Presiden. Kekhawatiran dan kesan bahwa Jokowi tidak mandiri dalam membuat keputusan terutama ketika kepentingan masyarakat luas bertabrakan dengan kepentingan partai atau ketua umum. Jokowi akan lebih memilih kepentingan partai," katanya.
Dia menambahkan, Jokowi akan mematuhi segala perintah Megawati. Dengan begitu, Jokowi tidak akan memiliki kemandirian dalam memimpin Indonesia apabila terpilih menjadi presiden.
"Dalam konteks ini, Megawati adalah sang ratu. Jika Megawati bersabda, maka dalam perspektif kekuasaan Jawa, sabda itu tidak bisa dibantah. Sabdo Pandito Ratu. Ini juga pertanyaan besar buat Jokowi , apakah ia sosok yang mandiri? Apakah ia sosok nasionalisme tulen ala bung Karno yang berdikari?," pungkas dia.
Sumber : merdeka.com
Editor : Maulana Lee
Ex-C.I.A. Official Rebuts Republican Claims on Benghazi Attack in ‘The Great War of Our Time’
WASHINGTON — The former deputy director of the C.I.A. asserts in a forthcoming book that Republicans, in their eagerness to politicize the killing of the American ambassador to Libya, repeatedly distorted the agency’s analysis of events. But he also argues that the C.I.A. should get out of the business of providing “talking points” for administration officials in national security events that quickly become partisan, as happened after the Benghazi attack in 2012.
The official, Michael J. Morell, dismisses the allegation that the United States military and C.I.A. officers “were ordered to stand down and not come to the rescue of their comrades,” and he says there is “no evidence” to support the charge that “there was a conspiracy between C.I.A. and the White House to spin the Benghazi story in a way that would protect the political interests of the president and Secretary Clinton,” referring to the secretary of state at the time, Hillary Rodham Clinton.
But he also concludes that the White House itself embellished some of the talking points provided by the Central Intelligence Agency and had blocked him from sending an internal study of agency conclusions to Congress.
“I finally did so without asking,” just before leaving government, he writes, and after the White House released internal emails to a committee investigating the State Department’s handling of the issue.
A lengthy congressional investigation remains underway, one that many Republicans hope to use against Mrs. Clinton in the 2016 election cycle.
In parts of the book, “The Great War of Our Time” (Twelve), Mr. Morell praises his C.I.A. colleagues for many successes in stopping terrorist attacks, but he is surprisingly critical of other C.I.A. failings — and those of the National Security Agency.
Soon after Mr. Morell retired in 2013 after 33 years in the agency, President Obama appointed him to a commission reviewing the actions of the National Security Agency after the disclosures of Edward J. Snowden, a former intelligence contractor who released classified documents about the government’s eavesdropping abilities. Mr. Morell writes that he was surprised by what he found.
Advertisement
“You would have thought that of all the government entities on the planet, the one least vulnerable to such grand theft would have been the N.S.A.,” he writes. “But it turned out that the N.S.A. had left itself vulnerable.”
He concludes that most Wall Street firms had better cybersecurity than the N.S.A. had when Mr. Snowden swept information from its systems in 2013. While he said he found himself “chagrined by how well the N.S.A. was doing” compared with the C.I.A. in stepping up its collection of data on intelligence targets, he also sensed that the N.S.A., which specializes in electronic spying, was operating without considering the implications of its methods.
“The N.S.A. had largely been collecting information because it could, not necessarily in all cases because it should,” he says.
Mr. Morell was a career analyst who rose through the ranks of the agency, and he ended up in the No. 2 post. He served as President George W. Bush’s personal intelligence briefer in the first months of his presidency — in those days, he could often be spotted at the Starbucks in Waco, Tex., catching up on his reading — and was with him in the schoolhouse in Florida on the morning of Sept. 11, 2001, when the Bush presidency changed in an instant.
Mr. Morell twice took over as acting C.I.A. director, first when Leon E. Panetta was appointed secretary of defense and then when retired Gen. David H. Petraeus resigned over an extramarital affair with his biographer, a relationship that included his handing her classified notes of his time as America’s best-known military commander.
Mr. Morell says he first learned of the affair from Mr. Petraeus only the night before he resigned, and just as the Benghazi events were turning into a political firestorm. While praising Mr. Petraeus, who had told his deputy “I am very lucky” to run the C.I.A., Mr. Morell writes that “the organization did not feel the same way about him.” The former general “created the impression through the tone of his voice and his body language that he did not want people to disagree with him (which was not true in my own interaction with him),” he says.
But it is his account of the Benghazi attacks — and how the C.I.A. was drawn into the debate over whether the Obama White House deliberately distorted its account of the death of Ambassador J. Christopher Stevens — that is bound to attract attention, at least partly because of its relevance to the coming presidential election. The initial assessments that the C.I.A. gave to the White House said demonstrations had preceded the attack. By the time analysts reversed their opinion, Susan E. Rice, now the national security adviser, had made a series of statements on Sunday talk shows describing the initial assessment. The controversy and other comments Ms. Rice made derailed Mr. Obama’s plan to appoint her as secretary of state.
The experience prompted Mr. Morell to write that the C.I.A. should stay out of the business of preparing talking points — especially on issues that are being seized upon for “political purposes.” He is critical of the State Department for not beefing up security in Libya for its diplomats, as the C.I.A., he said, did for its employees.
But he concludes that the assault in which the ambassador was killed took place “with little or no advance planning” and “was not well organized.” He says the attackers “did not appear to be looking for Americans to harm. They appeared intent on looting and conducting some vandalism,” setting fires that killed Mr. Stevens and a security official, Sean Smith.
Mr. Morell paints a picture of an agency that was struggling, largely unsuccessfully, to understand dynamics in the Middle East and North Africa when the Arab Spring broke out in late 2011 in Tunisia. The agency’s analysts failed to see the forces of revolution coming — and then failed again, he writes, when they told Mr. Obama that the uprisings would undercut Al Qaeda by showing there was a democratic pathway to change.
“There is no good explanation for our not being able to see the pressures growing to dangerous levels across the region,” he writes. The agency had again relied too heavily “on a handful of strong leaders in the countries of concern to help us understand what was going on in the Arab street,” he says, and those leaders themselves were clueless.
Moreover, an agency that has always overvalued secretly gathered intelligence and undervalued “open source” material “was not doing enough to mine the wealth of information available through social media,” he writes. “We thought and told policy makers that this outburst of popular revolt would damage Al Qaeda by undermining the group’s narrative,” he writes.
Instead, weak governments in Egypt, and the absence of governance from Libya to Yemen, were “a boon to Islamic extremists across both the Middle East and North Africa.”
Mr. Morell is gentle about most of the politicians he dealt with — he expresses admiration for both Mr. Bush and Mr. Obama, though he accuses former Vice President Dick Cheney of deliberately implying a connection between Al Qaeda and Iraq that the C.I.A. had concluded probably did not exist. But when it comes to the events leading up to the Bush administration’s decision to go to war in Iraq, he is critical of his own agency.
Mr. Morell concludes that the Bush White House did not have to twist intelligence on Saddam Hussein’s alleged effort to rekindle the country’s work on weapons of mass destruction.
“The view that hard-liners in the Bush administration forced the intelligence community into its position on W.M.D. is just flat wrong,” he writes. “No one pushed. The analysts were already there and they had been there for years, long before Bush came to office.”
Ben E. King, Soulful Singer of ‘Stand by Me,’ Dies at 76
Mr. King sang for the Drifters and found success as a solo performer with hits like “Spanish Harlem.”