saco-indonesia.com, Suatu hari aku bermobil
dengan beberapa teman. Di hampir setiap perempatan yang dilewati selalu ada sekumpulan orang.
Mereka itu ngamen, ngemis, bawa bulu-bulu untuk membersihkan kaca mobil, jual koran, dsb.
Kayaknya itu sudah menjadi pemandangan biasa di jalanan.
Di salah satu perempatan, ketika
berhenti karena lampu lagi merah, seorang teman tiba-tiba berkomentar,
“Orang-orang itu
malas banget. Mestinya mereka bisa bekerja dengan lumrah, bukannya malas-malasan ngemis dan
nodongin orang.”
saco-indonesia.com, TIDAK SEMUANYA ANAK JALANAN MALAS
Suatu hari aku bermobil dengan beberapa teman. Di hampir setiap perempatan yang dilewati selalu ada sekumpulan orang. Mereka itu ngamen, ngemis, bawa bulu-bulu untuk membersihkan kaca mobil, jual koran, dsb. Kayaknya itu sudah menjadi pemandangan biasa di jalanan.
Di salah satu perempatan, ketika berhenti karena lampu lagi merah, seorang teman tiba-tiba berkomentar,
“Orang-orang itu malas banget. Mestinya mereka bisa bekerja dengan lumrah, bukannya malas-malasan ngemis dan nodongin orang.”
Komentar yang juga lumrah. Mereka itu tampak sehat walaupun dekil. Spontan aku turunkan kaca mobil. Kupanggil salah satu anak yang lagi mendekat membawa ecek-ecek dari tutup botol.
“Bang, temenku ini mau omong,” panggilku.
Temanku kaget. Pandangan melotot mengandung ancaman diarahkan kepadaku. Tetapi, dia mengulang celutukannya tadi. Dengan kalimat yang lebih sopan, tentunya. Si anak remaja itu dengan tenang mengulurkan tangan tertadah ke dalam mobil dan berkata,
“Kalau Oom bisa memberi saya pekerjaan…apa pun…cabutin rumput, ngurusin sampah, bersihin wc…akan saya kerjakan, Oom.”
Di depan, lampu hijau menyala. Tidak ada waktu lagi buat ngobrol, diskusi, atau pun rapat. Kuletakkan dua logam limaratusan di tangannya sembari pamit dan cabut.
Sambil mengemudi, kurasakan kata-kata si remaja tadi menghantami benakku. Betapa sering aku sendiri menggeneralisasi orang-orang ini. Berada di jalanan berarti malas, tidak mau cari pekerjaan yang layak, tidak mau kerja keras, memilih cara yang gampang untuk cari duit, dst. Vonis yang kayaknya terlalu pagi. Bisa jadi dari antara mereka memang ada yang seperti itu. Tapi, mestinya ada juga orang-orang yang sudah berusaha – dengan cara mereka – dan selalu ketemu jalan buntu. Pasti ada pula yang memang sungguh terdesak dan jalanan menjadi solusi.
Aku jadi ingat anak-anakku. Kebanyakan dari mereka berada di jalanan bukan karena malas. Ada yang lari karena tidak diakui sebagai anak oleh orang tua. Ada yang orang tuanya terlalu miskin untuk menghidupi terlalu banyak anak. Beberapa sudah tidak punya orang tua. Mereka bekerja di jalanan agar tetap bisa makan. Syukur kalau masih bisa sekolah dari hasil ngamen. Aku kenal dua-tiga anak yang keluar dari sekolah dan ngamen untuk biaya sekolah adik-adik mereka. Jalanan menjadi solusi bagi orang-orang ini. Tetapi, semua fakta itu ternyata belum mempertobatkan persepsiku tentang hidup di jalanan.
Pada era modern layaknya saat ini, pemakaian sparepart AC untuk pendingin ruangan sukar dihindari. Pendingin udara atau yang ter
Pada era modern layaknya saat ini, pemakaian sparepart AC untuk pendingin ruangan sukar dihindari. Pendingin udara atau yang terkenal lewat istilah AC beberapa tahun silam juga merupakan salah satu produk mahal. Akan tetapi, akhir-akhir ini nyaris tiap-tiap rumah telah mempunyainya. Sekalipun mengandalkan AC, tidak berarti Anda tak dapat bijak ketika memakainya. Diawali lewat menentukan Sparepart AC yang sesuai itu susah-susah gampang. Kecuali menyelaraskan dengan budget, Anda hendaknya juga menyelaraskan pula luas ruang dan kapasitas PK (Paard Kracht). PK juga merupakan power yang diperlukan guna untuk memproduksi British thermal unit (BTU). BTU dimana akan dapat menentukan derajat kesejukan udara yang diperoleh. Memang, guna untuk menciptakan BTU yang tinggi diperlukan juga PK tinggi juga. Akibatnya, orang sering mengatakan
derajat dingin AC menurut PK-nya.
Apabila telah membeli sparepart AC yang sesuai, waktu pemakaiannya juga mesti bijak. Contohnya saja, Anda memasang AC pada luas kamar yang pas. Jika tidak pas, maka AC bakal berfungsi dengan boros serta menyebabkan tagihan listrik kian besar. Selanjutnya, aturlah suhu AC di nilai 25 derajat C maupun suhu yang nyaman untuk anda. Kian rendah suhu yang telah dipilih maka kian besar tenaga listrik yang telah dibutuhkan. Tahap selanjutnya, gunakan timer dalam mematikan AC 1 jam ketika anda hendak bangun pagi. Tidak boleh ketinggalan menutup jendela juga pintu ketika Anda sedang mengoperasikan sparepartAC. Paling akhir, kerap membersihkan saringan udara juga menservis AC dengan berkala tiap-tiap 3 hingga 4 bulan sekali
Walaupun ruangan dengan AC begitu nyaman, apa dikata, udara yang terlampau dingin serta perawatan AC yang jelek dapat mengakibatkan problem. AC pada keadaan kotor merupakan area berkembang biak mikroorganisme, umpamanya saja Legionella pneumophilia. Bakteri tersebut bertanggung jawab pada penyakit Legionnaires disease atau demam legion, dimana mampu mengakibatkan sakit pneumonia. Transisi suhu yang mendadak dari panas menuju dingin pun bisa memberi pengaruh pada sistem pernapasan kita. Kecuali itu sparepart AC pun juga memilik akibat mengeringkan kulit maupun selaput lendir yang terdapat pada tubuh. Supaya anda selalu bugar sekalipun tiap-tiap waktu tinggal pada ruang ber-AC, simaklah Kiat selanjutnya ini :
1. Tidak boleh lupa minum. Air putih lebih bagus. Sebab tak berkeringat tidak bermakna badan tak memerlukan air. Paling tidak 8 gelas setiap hari harus hukumnya.
2. Supaya kulit tak kering, tidak boleh lupa juga menggunakan hand and body lotion. Begitu juga pelembab pada muka.
3. Lindungi fisik dengan menggunakan vitamin supaya tak gampang terkena penyakit. Lebih-lebih bagi mereka yang telah beraktifitas pada ruang ber-AC sentral.
4. Terdapat ventilasi yang telah memadai Sebagai aliran udara. Tidak boleh rapat keseluruhan.
5. Cermati jadwal dalam pemeliharaan sparepart AC.
6. Upayakan supaya temperatur ada di rentang 21 – 25 derajat C. Gampang untuk dikerjakan di rumah akan tetapi suka tak suka mesti menerima temperatur berapa saja bagi AC sentral.
7. Kelembaban diatur berkisar 60 % – 70 %.
From sea to shining sea, or at least from one side of the Hudson to the other, politicians you have barely heard of are being accused of wrongdoing. There were so many court proceedings involving public officials on Monday that it was hard to keep up.
In Newark, two underlings of Gov. Chris Christie were arraigned on charges that they were in on the truly deranged plot to block traffic leading onto the George Washington Bridge.
Ten miles away, in Lower Manhattan, Dean G. Skelos, the leader of the New York State Senate, and his son, Adam B. Skelos, were arrested by the Federal Bureau of Investigation on accusations of far more conventional political larceny, involving a job with a sewer company for the son and commissions on title insurance and bond work.
The younger man managed to receive a 150 percent pay increase from the sewer company even though, as he said on tape, he “literally knew nothing about water or, you know, any of that stuff,” according to a criminal complaint the United States attorney’s office filed.
The success of Adam Skelos, 32, was attributed by prosecutors to his father’s influence as the leader of the Senate and as a potentate among state Republicans. The indictment can also be read as one of those unfailingly sad tales of a father who cannot stop indulging a grown son. The senator himself is not alleged to have profited from the schemes, except by being relieved of the burden of underwriting Adam.
The bridge traffic caper is its own species of crazy; what distinguishes the charges against the two Skeloses is the apparent absence of a survival instinct. It is one thing not to know anything about water or that stuff. More remarkable, if true, is the fact that the sewer machinations continued even after the former New York Assembly speaker, Sheldon Silver, was charged in January with taking bribes disguised as fees.
It was by then common gossip in political and news media circles that Senator Skelos, a Republican, the counterpart in the Senate to Mr. Silver, a Democrat, in the Assembly, could be next in line for the criminal dock. “Stay tuned,” the United States attorney, Preet Bharara said, leaving not much to the imagination.
Even though the cat had been unmistakably belled, Skelos father and son continued to talk about how to advance the interests of the sewer company, though the son did begin to use a burner cellphone, the kind people pay for in cash, with no traceable contracts.
That was indeed prudent, as prosecutors had been wiretapping the cellphones of both men. But it would seem that the burner was of limited value, because by then the prosecutors had managed to secure the help of a business executive who agreed to record calls with the Skeloses. It would further seem that the business executive was more attentive to the perils of pending investigations than the politician.
Through the end of the New York State budget negotiations in March, the hopes of the younger Skelos rested on his father’s ability to devise legislation that would benefit the sewer company. That did not pan out. But Senator Skelos did boast that he had haggled with Gov. Andrew M. Cuomo, a Democrat, in a successful effort to raise a $150 million allocation for Long Island to $550 million, for what the budget called “transformative economic development projects.” It included money for the kind of work done by the sewer company.
The lawyer for Adam Skelos said he was not guilty and would win in court. Senator Skelos issued a ringing declaration that he was unequivocally innocent.
THIS was also the approach taken in New Jersey by Bill Baroni, a man of great presence and eloquence who stopped outside the federal courthouse to note that he had taken risks as a Republican by bucking his party to support paid family leave, medical marijuana and marriage equality. “I would never risk my career, my job, my reputation for something like this,” Mr. Baroni said. “I am an innocent man.”
The lawyer for his co-defendant, Bridget Anne Kelly, the former deputy chief of staff to Mr. Christie, a Republican, said that she would strongly rebut the charges.
Perhaps they had nothing to do with the lane closings. But neither Mr. Baroni nor Ms. Kelly addressed the question of why they did not return repeated calls from the mayor of Fort Lee, N.J., begging them to stop the traffic tie-ups, over three days.
That silence was a low moment. But perhaps New York hit bottom faster. Senator Skelos, the prosecutors charged, arranged to meet Long Island politicians at the wake of Wenjian Liu, a New York City police officer shot dead in December, to press for payments to the company employing his son.
Sometimes it seems as though for some people, the only thing to be ashamed of is shame itself.